Selama ini aku hidup dan bernafas, makan dan tidur, belajar dan ujian, dan kegitan yang sama selama berulang-ulang. Tapi apa yang aku inginkan? Aku tidak tahu... SMPku, SMAku, dan bahkan kampusku adalah pilihan orangtuaku. Nilai bagus untuk setiap ujian adalah harapan mereka atau kusebut itu tuntutan secara tak langsung. Selama ini aku merasa tak ada yang salah seperti itu. Semua berulang dan berulang sampai ketika itu...
Pagi itu aku dan teman-temanku telah berkumpul di kafetaria kampus. Suatu acara rutin yang kami lakukan sebelum masuk ke kelas, yakni sarapan pagi. Seperti biasanya ketika kau berada di antara cewek2, pembicaraan tak lain dan tak bukan adalah gosip, fashion terbaru, film, maupun gebetan2 mereka.
Namaku adalah Serin, seorang cewek yang biasa saja dan tak punya kelebihan apa2 selain nilai yang bagus. Julukanku adalah Serin si kutu buku dan aku tidak bermasalah dengan hal itu. Kadang mereka menjadikanku sebagai bahan lelucoan, dan aku juga tak begitu perduli.
Pagi yang sama kadang membuatku bosan, kuaduk pelan bubur ayam di piringku. Sesekali aku mengganguk dan juga melemparkan senyuman ketika salah satu dari mereka melihatku.
"Jadi bagaimana menurutmu?" tanya Tania, sang ratu kampus kami sambil menatapku.
"Aku sich terserah saja!" ujarku sambil tersenyum walau aku tak tahu apa yang mereka katakan. Pikiranku menerawang jauh.
"Baiklah sudah diputuskan. malam minggu nanti kita akan berpesta!" ujar Tania sambil mengeluarkan hpny. "Ku-alarm dulu biar semua pada tepat waktu."
Sesudah makan, kami masuk ke kelas, mendengarkan celotah dosen2 tua, dan berbarengan menyerukan aksi protes ketika dosen memberikan tugas rumah. Sungguh tidak ada yang baru, hanya sebuah rutinitas dari sebuah jadwal yang telah ditetapkan.
Kampus di pinggiran kota, pemandangan sore di sepanjang jalan pulang yang indah. Cahaya orange kemerahan terlihat seperti api yang menyala di samping awan2. Melihatnya selalu membuatku bertanya-tanya, kenapa aku tidak lahir ketika jaman The Lord of The Ring dulu - zaman perang di sebuah film fiksi yang selalu membuatku berdebar ketika melihatnya. Warna langit yang merah, besok berarti akan ada perang perang yang bakal memakan banyak korban. Sebuah kalimat yang terselip begitu saja di otakku ketika kulihat film itu. Selalu mengiang-ngiang di kepalaku, akan sangat baik kalo aku adalah tokoh The Lord of The Ring. Bisa berjuang dalam perang walaupun akhirnya harus mati. Beruntung sekali jika bisa gugur di medan perang, aku juga mau. Sejenak aku merasa iri pada pahlawan2 fiksi di film itu.
"Serin, hpmu bergetar! Kau tidak mau mengangkatnya?" Linda mengoyangkan bahuku, membuatku sadar kembali.
"Ah.. makasih!" Aku lalu cepat membuka tasku, mengambil hp dan kubuka flipnya.
"Hallo! Ma, ya!" ujarku pada suara diseberang itu.
Telingaku merasa panas, mamaku berceloteh dengan panjang dan cepatnya. Aku satidak mendengar apa yang ia ucapkan. semua berputar dengan cepat dalam kepalaku.
aku sudah bisa menebak ia akan menelepon untuk memarahi soal nilaiku yang jelek kemarin. nilai 90 yang merupakan nilai a, tapi bagi mamaku nilai itu tetaplah suatu kesalahan, sebuah nilai yang tak seharusnya kudapatkan. memang mamaku selalu menuntutku untuk mendapat nilai 100 saat aku smp dan sma, katanya 100 atau tidak berarti sama sekali. tapi aku bukanlah robot dan programku tidaklah sempurna, kadang aku bisa sakit dan juga sangat lelah. tapi tak ada yang mendengarkan teriakanku, dan tak ada yang bertanya apa keluhanku. tak dapat menahan emosiku, airmataku perlahan menetes.
"Kau tak apa?" tanya kasir minimart itu padaku.
"Tidak, mataku kemasukan debu!" aku tersenyum padanya. kulihat teman-temanku sudah pada keluar dari minimart itu. segera kuhapus air mataku, aku tak ingin ada orang yang mengetahui betapa cengengnya diriku. hal yang memalukan ini cukup menjadi rahasiaku saja.
"Lantas apa yang akan kamu pakai?" Linda sudah tampak sibuk mengacak-ngacak isi lemarinya. Ah, aku baru tersadar aku berada di dalam kamarnya ketika aku mengamati perabot yang di depanku.
"Apa kamu sudah memutuskan?" tanyanya sambil menatapku yang masih bingung. "Baju yang akan kamu pakai nanti untuk pergi."
"Aku tidak tahu baju apa yang sesuai untukku. lebih baik kau yang pilihkan saja!" aku lalu berdiri menghampiri Linda yang sudah memegang 3 helai pakaian di lengannya.
"Tapi apa kamu beneran akan pergi?" ujar Linda menjauhkan tangannya ketika aku mau mengambil pakaian pestanya. "Kau tahu? Diskotik, ini bukan gayamu sama sekali Serin?"
Aku senang melihat ekpresinya yang khawatir. tapi apa gayaku aku juga tidak tahu. diskotik mungkin bukan tempat yang cocok bagiku. kudengar tempat itu adalah tempat orang untuk mabuk-mabukan,obat terlarang, bahkan prostitusi terselubung.
Baru satu langkah, musik yang ada sudah mulai memekakkan telingaku. asap rokok dan wangi parfum yang mencekat membuatku terasa sesak. jadi inikah yang dinamakan tempat hiburan, selama ini hanya bisa kudengar di tv. entah keberanian apa telah membuatku menginjakkan kaki disini.
"Kita duduk di sana saja?" teriak Tania sambil menunjuk ke meja yang terletak disudut ruangan itu. Separuh suaranya kalah saing dengan sound system yang ada, hingga Tania harus menunjuk dengan jarinya agar kami mengerti.
Apanya yang duduk disini? begitu minuman kami datang, sedikit icip2, mereka berlima telah turun ke dance floor. aku ditinggal sendiri menunggui tas2 mereka. jusku sudah habis, aku juga mulai bosan disini. musik ini membuat kepalaku sakit. aku lalu pergi ke toilet, sekedar untuk membuang waktu, aku duduk lama di atas dudukan toilet. paling tidak, tempat ini jauh lebih tenang daripada diluar. aku menciumi bajuku, semuanya bau rokok, rambut dan seluruh kulitku. pulang nanti aku harus mandi dan keramas. entah berapa lama aku tertidur didalam toilet, aku lalu membasuh seluruh wajahku di wastafel.
Tampaknya mereka masih asyik menari di dance floor dengan iringan dj yang ada. kulihat jam tanganku, sudah pukul 2 pagi. jam berapa mereka akan pulang nanti.tenggorokanku mulai haus, aku lalu duduk di depan meja bar tak jauh dari pintu masuk.
"Permisi mas!" ujarku setengah berteriak.
Seorang bartender muda lalu menghampiriku, usianya kurang lebih sama sepertiku. Wajah putih yang ganteng dengan rambut dicat kuning kecoklatan. Ia juga memiliki tindikan yang cukup banyak di telinga kirinya. Tangan kirinya memegang tabung kecil seperti termos dan di pinggangnya terselip lap merah.
Ia kini telah berada dihadapanku, jika aku cewek normal pasti aku sudah celegukan tak bisa berbicara. Tapi..
"Ada apa mbak?" tanyanya ramah. Suaranya terdengar merdu kontras dengan musik2 keras di seluruh ruangan ini. Gingsulnya yang keluar saat tersenyum mempermanis wajahnya yang sudah ganteng.
"Aku pesan orange juice," ucapku setengah berteriak. namun sepertinya ia tak mendengarkan suaraku. Ia tampak memiringkan kepalanya kearahku, seolah2 menyuruhku membisikan ke telinganya. AKu lalu naik ke pijakan kursi dan berdiri mencondongkan badanku kearahnya.
Ia lalu memberi isyarat ok dengan tangannya setelah aku selesai berbisik. Beberapa saat ia kembali dengan segelas juice dan catatan kecil yang diletakan di samping gelas itu. Aku lalu membuka catatan yang terlipat dua itu.
disitu tertulis: maskaramu sedikit luntur di bawah matamu. kau membasuh wajahmu terlalu kuat. kalau mengantuk kenapa kau tidak pulang dan tidur saja?
bartender yang aneh, menyarankan pelanggannya untuk pulang dan tidur. mank dia tidak mau duit apa? kalo semua orang balik dan tidur, bisa-bisa bisnis ini akan segera gulung tikar. Aku lalu meminjam pen dari seorang laki-laki yang duduk disebelahku. kubalikan kertas itu dan kutulis: bukan urusanmu, aku tidak mengantuk dan masih ingin disini. begitu tempat ini tutup baru aku akan pulang.
Aku lalu memanggil bartender itu lagi dan kusodorkan kertas yang kutulis tadi. Tak kulihat ada ekspresi ketika ia membaca tulisanku dan begitu ada pelanggan lain yang memanggilnya, ia lalu meninggalkanku.
Kulihat lagi jam tanganku, sudah pukul 3 lewat 15 menit. kulihat teman-temanku sudah duduk di mejanya dan bersama dengan pria-pria yang tak kukenal, berjumlah 6 orang. gawat aku tidak ingin balik kesana, aku tidak suka berkenalan dengan orang-orang itu. Silvia sepertinya melihatku dan melambai kearahku, namum aku berpura-pura tak melihatnya. ia tampak kesal dan berjalan kearahku.
gawat! aku lalu memegang bagian kanan dahiku dengan jari telunjuk dan tengah sambil kugosok-gosok pelan. Pandanganku lalu beralih ke bartender itu lagi. 10 kali ia bolak balik di depanku dan tak berkata apa-apa, tiba-tiba aku merasa kesal sendiri. kualihkan pandanganku ke gelasku yang sudah kosong lalu mengangkat tanganku memberi isyarat supaya ia mengambilkan aku segelas orange juice lagi.
Sebuah tangan memukul pundakku pelan, aku lalu berbalik dan Silvia - menunjukkan wajah marah. "Kami mencarimu dari tadi tau! kau kemana aja? ayo bergabung kesana!"
Ia lalu menarik tanganku. Sebuah gelas ditaruh dengan keras di depan mejaku. Bartender itu terlihat sudah berada di depan mejaku.
"Aku disini saja! lagipula pesananku sudah datang. kalian disana saja, aku tak apa-apa sendiri!" ujarku berbisik di telinga Silvia.
Ia mengangguk pelan dan membisikiku balik, "Kalo begitu kamu mau pulang bareng kami?"
Silvia melirikku dan bartender itu, "Kelihatannya tidak!"
Sejurus Sivia sudah meninggalkanku dan bergabung dengan Tania di sana.
Begitu kubalikan badanku, bartender itu sudah berada 2 meteran dariku melayani pelangan lain.
Aku lalu menatap ke gelas juice di hadapanku, isinya sudah tak penuh lagi. seperti tumpah saat ia meletakkan gelas itu tadi. tapi aku tidak menemukan bekas tumpahan itu diatas meja dan yang ada hanya sebuah kertas baru.
Kau sudah bisa terkena diabetes karena minum terlalu banyak gula hari ini. tadi kau bilang tidak ngantuk, tapi kuperhatikan sejak kau masuk tadi, di meja ujung tadi kau sudah menguap beberapa kali, menggosok-gosok matamu, dan terakhir kau pergi ke toilet hampir sejaman lebih. kau tidak ketiduran di sana kan? kenapa kamu bisa datang kesini dan teman-temanmu itu? disini hanya ada musik keras dan bau yang tidak enak, kau tak akan menemukan apapun disini.
Deg, sedetik setelah membaca kertas itu, badanku terasa aneh. sesak didada yang belum pernah terjadi sebelumnya. seperti ada yang menahanku untuk bernafas. kepalaku sakit, bukan karena musik yang keras ataupun lampu yang kerlap-kerlip. tapi tak habis kupikir, kenapa ia? ia berbeda, ia tau apa yang kulakukan dan bisa menebak apa yang kupikirkan. tanganku gemetar ketika mengambil pen itu. Aku mengurungkan niatku untuk menulis - hanya bisa diam terpaku menatap bartender itu dengan sejuta pertanyaan di benakku.
bersambung ke bag 2 (tamat)
COMMENTS :
Don't Spam Here
0 komentar to “ Ia berbeda ”
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l:
Post a Comment
Bagi sobat-sobat silahkan comment disini, Insya Allah saya comment balik di blog anda dan Saya follow juga. Blog 7ASK adalah Blog Do Follow, Terimakasih atas kunjungan Anda..!