Friday, April 10, 2009

End of War (El South)

Dua jam kemudian… Di kota bernama El South, kira-kira sejauh 30 km dari utara Etge South. Rintik-rintik hujan turun mulai membasahi kota yang disebut sebagai basis pertahanan utama Day Light. Semakin deras, tak memakan waktu lama beberapa sudut jalan yang tersusun dari batu bata tampak tergenang air.


Terlihat seorang pria berlari dari arah gerbang selatan kota El South – menyusuri jalanan utama kota itu. Tak terlihat ia mengurangi kecepatannya ataupun memperhatikan langkahnya lagi. Kakinya sesekali menginjak genangan air dan menciprati celana panjangnya.
Setelah melewati beberapa perempatan, ia membelok dan memasuki suatu pekarangan. Berlari mendekati sebuah pintu rumah – rumah yang modelnya semi Eropa. Ukurannya cukup besar bila dibandingkan dengan rumah lain yang baru saja dilewatinya. Ia lalu mengetuk pintu rumah itu keras.

‘Tok-tok’

Terdengar beberapa kali suara ketukan pintu yang cukup keras dari dalam rumahku. Keluargaku yang sedang asyik makanpun menjadi sedikit terganggu. Ibuku pun segera beranjak dari kursinya – aku juga berlari kecil mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di pintu, ibu berhenti sebentar dan mengintip melalui jendela. Ibu lalu membukakan pintu untuk tamu kami itu.

“Leona, mana Georald?”

Suara itu terdengar begitu panik. Dari balik belakang ibuku, diam-diam aku mencuri pandang ke pria itu. Seorang pria yang agak tua – basah dan kotor. Beberapa cipratan lumpur tampak menempel di bagian bawah celana dan sepatunya.

“Suamiku ada didalam! Silakan masuk Tocenus!”

Setelah ibu mempersilahkannya, pria yang bernama Tocenus itu pun kemudian masuk ke dalam rumah kami. Ugh… tampaknya paman ini seperti diburu waktu. Ia bahkan tidak mencopot sepatunya. Aku kesal melihat jejak lumpur yang ditinggalkan setiap ia melangkah. Tak tahukah ia, ibuku baru saja mengepel tadi.
“Suami saya sedang makan bersama Zeren di belakang!” Ujar ibuku pada Tocenus ketika kami melewati lorong – penghubung antara ruang tamu dan ruang makan. Sepanjang lorong itu kami melewati ruang baca ayah di sebelah kanan dan perpustakaan di sebelah kiri. Di sudut ruangan sebelah kiri ada tangga menuju lantai 2. Aku berjalan sambil menggandeng tangan ibuku.
Setelah menyusuri lorong, kamipun melewati ruang santai keluarga yang cukup besar luasnya. Tak jauh dari perapian, ada sebuah pintu untuk memasuki ruang makan yang terhubung langsung dengan dapur.

Begitu pintu ruang makan terbuka, Tocenus berlari menghampiri ayah yang sedang sedang duduk disamping Zeren – di depan meja makan. Melihat wajahnya yang serius, ayah lalu memerintahkan Zeren duduk di kursi yang lain.
Tocenus membisiki telinga ayahku. Tak satupun kata-kata yang terdengar olehku. Entah apa yang mereka bicarakan. Sesekali ayah tampak kaget dan marah, mulutnya tampak komat-kamit berkata sesuatu pada Tocenus yang disebelahnya. Kemudian ayah tampak menyudahi makan dan beranjak dari kursi kayu yang didudukinya.
Ayah menghampiri ibu yang menggandengku – memang sejak tadi aku dan ibuku hanya diam terpaku di depan pintu. Sama seperti tadi ayah membisikan sesuatu pada ibuku. Hatiku sedikit kesal karena kali ini – walau cukup dekat dengan mereka, aku juga tak berhasil menguping satu katapun.
Makan malam pun berakhir lebih cepat dari biasanya. Ayah mengantar Tocenus ke depan pintu sedangkan Ibu mengajakku dan Zeren naik ke kamar kami yang terletak di lantai dua.

Kamarku dan Zeren berada di paling ujung – dari tangga belok kanan, tepat di depan kamar utama. Di dalam kamar bercat putih itu, ibu menyuruhku dan Zeren duduk di tepi tempat tidur.
“Zeren… Ruf… Sekarang ibu minta bantuan kalian ya! Dengar ibu baik-baik, kemasi pakaian kalian masing-masing. Zeren bantu Ruf memasukkan pakaiannya. Lakukan itu secepat mungkin!” ujar ibu sambil jongkok di depan kami memasang wajah serius.
“Mm…” Zeren mengangguk ketika ibu melihatnya.
Ibu lalu menatapku.
“Ruf mengerti…” ujarku.
“Anak baik!” Ibu lalu tersenyum padaku dan Zeren. Setelah mengelus kepalaku, ibupun keluar. Aku dan Zeren berdiri mengawasi sosok ibu yang akhirnya menghilang di balik pintu.

Zeren segera membuka lemari, mengambil ransel dan menjejerkannya satu per satu rapi di atas keramik. Ia terlihat tampak asyik membongkar-bongkar lemari.
Sesekali aku menoleh ke Zeren, tampaknya kakakku itu masih sibuk memilih pakaian dan memisah-misahkannya.
Begitu aku sadar kakiku sudah berada di depan pintu – terlihat terbuka sedikit, tampaknya ibu lupa menutupnya rapat.
Aku lalu mengintip dari celah itu, sepertinya pintu kamar di depanku itu juga lupa ditutup. Terlihat sosok ayah berdiri menyamping tampak berkata sesuatu, sepertinya ia marah. Ibu lalu berjalan kearahnya dan memeluknya.
Jarak yang begitu jauh diantara kamarku dan mereka lagi-lagi membuatku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku hanya bisa mengira-ngira dari apa yang kulihat – sepertinya hal yang cukup serius.

“Ruf!!!” panggil Zeren mengangetkanku. Ia duduk bersila di depan lemari pakaian yang telah terbuka sambil melihatku. Ia terlihat seperti penjual pakaian dengan baju-baju di pangkuannya, sementara beberapa terlihat berantakan tercecer di atas lantai mengelilingi tubuhnya. “Apa yang kamu lakukan? Ayo cepat kemari!”
Zeren menatapku seolah-olah akan memarahiku. Tanpa melawan, aku lalu menghampiri kakakku itu. Ia lalu memberikan sebuah ransel coklat yang cukup besar kepadaku – tampak sudah terisi oleh beberapa helai pakaian.
“Aku sudah memasukan pakaianmu. Apa ada mainan yang mau kamu bawa?” tanya Zeren sambil tersenyum padaku, menghilangkan rasa takutku yang tadi. Kukira ia akan memarahiku.
“Mm…” Aku mengangguk cepat. Aku lalu menuju ke meja kecil samping tempat tidurku. Kubuka laci meja itu dan kuambil sebuah kotak dan boneka. Aku lalu memeluknya sambil berjalan ke arah Zeren – di sebelahnya ransel coklat bersama beberapa pakaian tampak berserakan. Segera kumasukan ke dalam tas dan kututup rapat.
“Boneka dan kotak musik ya?” Zeren tersenyum geli melihat tingkahku.
Kulihat ia telah selesai mengemasi pakaiannya juga, tampak dihadapannya ransel coklat miliknya sudah ditutup rapi.
Zeren lalu membantu memakaikan tas ransel itu kepunggungku, “Apakah tas Ruf terlalu berat?” tanyanya padaku.
“Tidak…” aku menggeleng cepat. “Segini Ruf masih sanggup!”

Zeren kemudian menggandeng tanganku, keluar dari kamar kami. Ayah dan ibu pasti masih di kamar. Aku menarik Zeren berlari ke kamar orangtuaku yang terletak tepat di depan kamar kami.
“Gelap…” ujarku dan Zeren bersamaan ketika membuka kamar itu.
“Zeren… Ruf…” teriak ibu – sepertinya berasal dari lantai satu. Zeren menggandeng tanganku erat dan segera kami menuruni tangga.

“Ibu… Ayah…” ujar Zeren begitu kami sampai dibawah.
Ayah dan ibu sudah berdiri di depan pintu yang dibiarkan terbuka. Ayah sepertinya sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian perang, pedang kebanggaannya juga sudah melilit rapi di samping pinggangnya. Ibu juga terlihat tidak jauh berbeda dengan ayah. Selain pakaian perang, pedang, ibu juga tampak membawa sebuah tas di pundaknya.
Ayah terlihat berjalan keluar terlebih dahulu. Kamipun keluar dari rumah menyusul ayahku. Setelah berjalan berapa langkah aku lalu berhenti. Ngg… aku melihat ke atas, beberapa tetesan hujan jatuh ke mukaku.
“Ayo Ruf!” ujar ibuku menarik tanganku. Aku kemudian harus berlari kecil mengikuti langkah ibuku yang bagiku cukup cepat.
Kamipun berhenti tepat di depan istal kuda yang terletak di pekarangan kanan belakang rumah kami. Terlihat ayah sudah mengeluarkan kudanya dari kandang – kuda hitam itu pun sudah memakai pelana lengkap.

Ayah lalu berjalan kearah kami, “Baiklah, Zeren dan Ruf… ayah pamit dulu ya!” Ayah sedikit berjongkok kemudian ayah memberikan ciuman di keningku dan Zeren.
“Istriku, aku pergi duluan!” ujarnya pada ibu. Keduanya tampak berpelukan sebentar – ibu mengangguk dan melepaskan pelukannya, ayah lalu naik ke atas kudanya dan memacu kudanya pergi.
Mataku terus menatap sosok ayah yang telah pergi. Begitu cepat, ia sudah keluar dari pekarangan rumah dan menghilang bersama hujan. Aku baru sadar, terlihat keadaan disekelilingku tampak kacau. Beberapa orang berpakaian perang juga tampak memacu kudanya kearah yang sama seperti ayah. Para penjaga patroli pun jumlahnya beberapa kali lipat dari biasanya. Mereka terlihat berlari kecil – sambil tetap membentuk dua barisan yang lurus mengikuti kawanan-kawanan tadi.

‘TRUUUUTTTEEEEE’

Suara peringatan panjang dari menara penjaga berbunyi keras di seluruh penjuru kota. Bunyi peringatan bahaya – berarti seluruh warga diharapkan untuk bersiap-siap untuk perang.
“Bunyi itu …” ujar Zeren menoleh tiba-tiba ke arah ibuku. Aku melihat kakakku dan ikut menoleh juga – ibu terlihat keluar dari sebuah kandang menggiring kuda putih kesayangannya.
“Zeren… Ruf… kalian segera naik juga!” Tampaknya ibu juga telah menyiapkan kuda untuk kami. Seekor kuda lengkap dengan pelananya, terlihat samping kiri kanan kantong pelana yang sedikit terbuka itu terdapat bahan makanan yang cukup banyak.
Zeren lalu naik keatas kuda, ibu juga menggendongku naik. “Kalian berdua jaga diri kalian ya!”
“Ibu…” panggil Zeren yang duduk dibelakangku lirih.
“Zeren…” ibu kemudian menyerahkan tas yang melilit dipundaknya pada Zeren. “Disini ada alamat paman kalian, uang tabungan kita, serta surat-surat berharga lainnya!”
“Zeren…” ujar ibu memberi isyarat. Zeren lalu menunduk mendengar apa yang di bisikkan ibu. “… … … Kamu sudah besar, jadi tolong ya!”
“Aku mengerti bu! Aku tidak akan membiarkannya terjadi. Aku akan menjaga Ruf seumur hidupku!” ujar kakakku sambil tetap menatap ibuku lekat.
“Ruf… jadi anak yang baik. Kamu harus dengarin kakakmu ya!” ujar ibuku sambil meneteskan air matanya.
“Hiks… Ruf pasti akan jadi anak yang baik!” Walau tak begitu mengerti apa yang sedang terjadi, aku juga ikut menangis.
Ibu lalu mengambil kedua kalungnya, “Teinz dan Rine…”
Setelah mengucapkan nama itu, seberkas sinar muncul di atas kami dan samar-samar terlihat dua ekor burung pelindung keluargaku: seekor Tunderbird jantan bewarna hijau bernama Teinz dan Rainbird jantan bewarna biru bernama Rene. “Zeren dan Ruf… jaga mereka untukku!”
‘KRufk… kRufk...’ bunyi keduanya serempak menjawab ibuku. Lalu mereka terbang rendah di atas kami.

Ibu lalu memakaikan kalung itu pada Zeren dan aku.

‘TRUUTE’

“Suara isyarat pendek… berarti musuh sudah dekat!” ujar Zeren pada ibuku. Aku lalu menoleh, tampak raut muka Zeren yang sedih melihat ibuku lekat.
“Tunggu apalagi!!” teriak ibuku seperti menahan emosinya. “Berangkat…”
Menuruti perintah ibuku, Zeren lalu mencambuk kudanya agar berlari. Sosok ibu yang berlinangan air mata itu pun perlahan menjauh dan menghilang dari pandanganku.
“Kakak….ibu dan ayah bagaimana??” tanyaku sambil menoleh kebelakang. Zeren memacu kudanya berlawanan dengan para guardian menuju gerbang utara. “Hiks…”
Air mataku tidak dapat terbendung lagi. Sesekali aku menengok ke Zeren karena ia hanya diam saja.

Keadaan menjadi cukup gelap saat itu. Kami sudah melewati gerbang kota, tak ada lagi pencahayaan, di kanan kiri yang terlihat hanya pohon. Bersiraman hujan dan memacu kuda mengikuti sebuah jalan yang di tunjukan oleh Teinz dan Rene. Perjalanan yang memakan waktu 3 hari 3 malam lamanya sebelum kami sampai ke kota De Central tempat Paman Van tinggal.

COMMENTS :




Don't Spam Here

0 komentar to “ End of War (El South) ”

Post a Comment

Bagi sobat-sobat silahkan comment disini, Insya Allah saya comment balik di blog anda dan Saya follow juga. Blog 7ASK adalah Blog Do Follow, Terimakasih atas kunjungan Anda..!

 

Copyright © 2008-2011 All Rights Reserved. Mobile View Powered by 7ASK / WAWAN ADIE and Distributed by Template

Facebook Twitter Mykaskus