Thursday, April 16, 2009

Lovoices



“Tehnya, Mbak,” perempuan sekitar empat puluh tahunan itu masih melakukan hal yang sama setiap pagi, antara pukul setengah sembilan hingga sembilan tepat. Membuatkan teh hangat untuk semua karyawan, kemudian menghidangkannya ke setiap meja dengan beberapa potong biskuit atau bahkan roti bakar.

“Makasih, Bu,” anggukku berbumbu senyum—yang kata orang—manis.

Awalnya aku hanya berbasa-basi mengaitkan jariku pada cuping pegangan cangkir dan menyesap teh yang tidak ada iklannya di TV itu, demi menghargai niat manis si ibu. Hingga kelamaan, aku pun memanfaatkan ini sebagai sarapan alternatif. Bahasa anak kostnya: menghindari buang-buang waktu dan duit untuk mencari sarapan di luar. Puji Tuhan, berat badanku tetap ideal sekalipun Baskin Robin, J.co, Pizza Hutt hingga nasi padang berkolaborasi menyenangkan lidah dan mengenyangkan perutku. Jadi, aku tak pernah menolak menghabiskan biskuit jatah rekanku yang diet ketat sejak aku bekerja di sini, sekitar dua tahun berlalu.

Tetapi hari itu aku menolak. Perutku terasa kenyang walau belum sarapan dan semalaman begadang. Oh mungkin terlalu banyak makan angin. Rekanku kemudian menawarkannya pada karyawan lain, biasanya anak-anak cowok yang pantang berkata tidak. Kebetulan ada anak baru yang tidak kebagian jatah. Si ibu masih sering lupa bahwa telah bertambah satu karyawan baru.

Hanya mengangguk sesaat setelah menerima biskuit, kemudian anak baru itu kembali pada pekerjaannya. Tanganku otomatis menopang dagu sambil memerhatikan gerak-geriknya. Kebetulan mejanya berada di seberang meja kerjaku. Bergeming sama sekali. Ia serupa robot yang diprogram secara otomatis untuk masuk kantor, duduk di meja kerjanya, mengerjakan tugas-tugasnya, istirahat, bekerja kembali dan pulang. Hanya untuk itu dan sebatas itu.

Baru kusadari, sejak masuk sebulan yang lalu, ia tak pernah terlihat berpaling dari monitornya, kecuali untuk urusan penting, dan barang kali ke kamar kecil. Dan demi Tuhan, aku tidak pernah mendengar ia berucap sepatah kata pun. Atau sekadar bersin, batuk, bergumam, bersiul, apalagi bernyanyi.

Kurasa ia memang robot. Robot sunyi.

Hari itu adalah pertama kalinya aku memerhatikan pemuda sekitar awal dua puluhan itu lebih dari satu jam, setelah selama tiga puluh hari hanya mengisi memoriku dengan fakta kecil dan tidak penting: ada karyawan baru di seberang meja kerjaku. Titik.

Selain efek masuk angin, pemuda itu menjadi negator bagiku untuk mengabaikan pekerjaanku. Sesekali aku harus mengamatinya, demi menyaksikan momentum terlangka, semacam melihatnya menggeliat pegal, menguap, bersin, atau mungkin mengobrol dengan teman di sebelahnya seperti yang sering kulakukan.

Satu jam pertama.
Kurasa ia masih cukup fit dan semangat. Duduknya tegak dan kedua matanya terfokus pada LCD setebal novel dua ratusan halaman.

Setengah jam berikutnya.
Kulihat ia menggosok hidungnya. Menunggu ia bersin, penantianku berakhir mengecewakan.

Dua puluh menit setelahnya.
Ia mengubah posisi duduknya. Sedikit miring. Lalu kembali ke posisi semula.

Tujuh puluh lima menit sesudahnya.
Waktunya istirahat makan siang. Rekan di sebelahnya mengajak ia makan bersama. Pemuda itu mengangguk tetapi tidak beranjak ke mana-mana. Itulah yang disebut anggukan penolakan. Baru beberapa saat setelah mereka ke luar, ia bangkit dan agak meremas-remas jemarinya yang sepertinya terasa pegal.

Tiga puluh menit kemudian.
Ia kembali dengan wajah dan rambut yang masih sedikit basah. Oh, ia seorang muslim.

Rekan kerja di sebelahku mengetuk-ngetuk mejaku dan bertanya kenapa aku tidak pergi istirahat dan malah duduk bengong mirip bintang iklan Mizone. Oh, sepertinya aku mulai tertular virus-robot pemuda itu. Dan kemudian atasanku menelepon, meminta laporan yang sedang kukerjakan. Laporan tentang pemuda itu—oh, bukan. Sialan! Aku belum mengerjakannya.

***

Sebenarnya aku tidak penasaran. Tidak juga merasa tertarik pada pemuda yang tidak misterius itu. Ia hanya pendiam dan sulit bergaul. Ia hanya seseorang yang selama delapan jam duduk berjarak kurang lebih tiga meter dari seberang meja kerjaku. Ia hanya sebuah robot sunyi.

Apa yang ingin kau tahu lebih rinci tentang dirinya? Aku yakin tidak ada. Namanya? Tidak penting. Ciri-ciri fisiknya? Ya begitulah. Alamat dan nomor ponselnya? Apalagi. Hobi dan cita-citanya? Film dan musik favoritnya? Statusnya? Ayolah, pergunakanlah waktu sebijaksana mungkin.

Lantas, kenapa aku merasa ada yang ganjil jika tidak memastikan ia sedang apa dan posisi tubuhnya seperti apa?

Ya Tuhan, lindungi aku dari kuasa gelap.

Aku berjanji tidak tidur terlalu larut. Dan tidak melupakan ritus doa sebelumnya. Tetapi ponselku selalu berdering tepat sesaat sebelum aku bermaksud me-non-aktifkannya.

Ferdian. Ia meneleponku hampir setiap malam. Membicarakan hal-hal standar bahkan nyaris tidak penting.

Ferdian: Na, aku baru isi pulsa yang seratus ribu. Eh, dapat bonus banyak banget!

Aku: Wah, selamat ya, Fer.

Ferdian: Makasih.

Aku: Sama-sama. Ditunggu traktirannya ya.

Ferdian: Beres.

Ferdian: O iya, kamu udah nonton film yang waktu itu aku rekomendasiin? Gimana? Seru kan?

Aku: Ya, ya. Agak jijik sih.

Ferdian: (tertawa) Pas adegan si cowok histeris karena penisnya putus itu ya? (tertawa lagi) Dasar Holywood. Ada-ada aja filmnya. Ngangkat mitos vagina bergigi segala.

Aku: Ya baguslah. Biar cowok-cowok bisa nahan kalau pingin em-el sama ceweknya sebelum nikah.

Ferdian: Ih, serem! Aku sampe ngilu nontonnya.

Aku: Omong-omong, kamu pernah....?

Pembicaraan kami selalu punya jalan dan celah untuk terus meluas, melebar dan meluber. Setiap topiknya berhasil kami eksplorasi sedemikian rupa hingga membentuk mata rantai tak terputuskan. Kami sering bicara dari jam sebelas malam sampai subuh, sampai rasanya aku tak punya kuping lagi saking baal-nya. Kami pun sering tak bisa mengontrol diri dan emosi, hingga tertawa lepas, marah-marah, bahkan aku pernah menangis mendengar cerita sedihnya. Dan kami sering menyanyikan lagu favorit kami masing-masing secara bergantian, jika sudah mulai kekurangan bahan pemibicaraan.

Satu hal yang tidak pernah kami lakukan: berbicara sambil menatap mata satu sama lain.

Ferdian adalah seseorang sejaman aku baru mengenal Multiply. Terkesan sangat ABG, memang. Waktu itu aku masih ABG, hingga sekarang dan nanti, kalau boleh menawar usia pada Tuhan. Tapi fisikku memang mungil, hingga orang-orang tetap menganggapku belia. Bukannya narsis, tapi kata-kata itu terucap dari mulut Ferdian. Mungkin itu juga salah satu alasan ia mendekatiku, rajin memberikan komentar di setiap postinganku, hingga mengobral nomor ponselnya.

Semua orang tahu, wajah asli seseorang memiliki selisih beberapa persen dengan wajah imitasinya di foto. Konon, orang jelek bisa kelihatan cakep; dan yang cakep tentu saja semakin cakep. Berkat penemuan penting bernama Adobe Photoshop, orang-orang tak perlu ngantri di dokter bedah plastik hanya supaya wajahnya terlihat jauh lebih menarik saat difoto. Ini menjelaskan kenapa warga dunia maya lebih banyak daripada dunia nyata.

Semua orang tahu itu. Dan kebanyakan dari mereka masih terlalu bodoh untuk lantas tertipu, dan tertipu lagi. Tapi Ferdian bukan orang yang bodoh karena telah memuji kecantikan fotoku. Hei, itu asli, tanpa rekayasa. Dan terus terang saja, alih-alih mahir Photoshop, membuat lingkaran saja aku tidak tahu bagaimana caranya.

Entah dengan Ferdian. Kulihat foto-fotonya cukup lumayan. Tapi aku bukan Roy Suryo yang bisa membuktikan keaslian sebuah citra digital. Ya, aku memang bukan Roy Suryo yang bisa bebas leluasa menonton film porno di depan banyak orang dengan alasan analisis.

Tetapi sungguh, aku tak pernah perduli apakah Ferdian memang benar-benar setampan foto-fotonya atau sebaliknya. Aku bukan tipe perempuan yang memandang seseorang dari tampilan fisiknya.

Tetapi dari suaranya.

Oh, Tuhan, terpujilah Engkau yang menganugerahkan pita suara terindah itu. Suara Ferdian sungguh menawan. Sangat indah. Seksi. Lebih dari merdu. Mendengar ia bicara seperti sedang mendengar penyiar radio FM favorit anak-anak ABG. Renyah, empuk, gurih, nikmat... apa pun akan kusebut demi mengungkapkan keindahannya.

Dan semua orang tahu, sampai detik ini, belum ada satu penemuan pun yang mampu mengubah suara jelek seseorang menjadi semerdu itu saat sedang berbicara.

Aku tidak mau menjadi seseorang yang terobsesi pada suara.

Meskipun aku pernah jatuh cinta hinga menjalin hubungan berlabel pacaran dengan seseorang hanya karena ia memiliki suara selembut awan. Delapan bulan. Lalu kami putus, bukan lantaran suaranya tiba-tiba berubah jadi cempreng. Tetapi suatu hari suaranya bernada lain, berbunyi perselingkuhan.

Adapun Ferdian; ia belum kuresmikan sebagai pacar. Meski kami sudah saling kenal hampir tiga tahunan. Meski selama itu aku selalu mendengar bunyi kesetiaan dari suaranya.

***

“Tehnya, Mbak,” suara itu lagi yang mengawali kehidupan pagi di kantor. Tetapi kala itu bunyinya tak sama dengan yang biasa. Perempuan itu jauh lebih muda. Ia mengaku sebagai keponakan dari ibu yang biasa menyuguhi kami teh hangat dan biskuit atau bahkan roti bakar.

“Makasih, Mbak,” kataku sambil mengambil cangkir teh dan biskuitku dari nampanya, setelah beberapa saat menunggu ia sendiri yang menghidangkannya. Jelas kan, bunyi suara perempuan itu didominasi ketidaktulusan.

Rekanku yang biasa mengamalkan biskuitnya mulai bosan dan mempertimbangkannya. Dua tahun diet ketat, menghindari setiap biskuit, tapi badannya tidak juga singset.

Tak dinyana, seisi kantor bersorak saat ia memasukkan biskuit kecil itu ke mulutnya. Bunyinya membuatku ingin menyerahkan biskuit-biskuitku kepadanya. Tetapi ia menolak, dan menunjuk meja di seberang meja kerjaku.

Oh, ya. Pemuda itu masih belum dapat jatah.

Entah kenapa aku harus deg-degan saat menuju meja kerjanya. Seperti... seperti hendak memberi makan anak macan.

“Untukmu,” kuangsurkan biskuit-biskuitku yang terbungkus plastik.

Ia yang tengah fokus pada pekerjaannya sesaat mendongak, matanya lurus menembus kedua mataku. Tidak terlalu tajam, namun membuat satu tarikan napasku terasa menyentak kerongkonganku sendiri.

“Ini,” kataku sambil meletakkannya di meja. Dan bersiap-siap kembali ke meja kerjaku.

“Makasih, Mbak.”

Langkahku refleks terhenti begitu ia mengucapkannya. Ia bersuara? Dan suaranya...

...sungguh...

...mer...

...du.

Kakiku sampai lemas. Dan jantungku berdegup aneh. Rasanya lebih spektakuler dari sensasi yang kau rasakan saat melihat lelaki tampan atau perempuan cantik berjalan di hadapanmu dan menghampirimu. Mendadak ia menjadi sosok yang sangat penting dari semua orang yang ada di bumi ini. Mendadak aku ingin berpaling, dan memintanya mengucapkan kalimat itu sekali lagi.

Sekali lagi.

Dan sekali lagi.

***

Anggara Kamil. Tinggi badan sekitar 168 cm dengan bobot 55 kg. Wajah khas cowok Asia. Tinggal di Jalan Buah Batu 269. Nomor ponsel 0811919128.

Baru sebatas itu informasi yang kuperoleh tentangnya. Aku harus berusaha lebih keras untuk mengetahui hal lainnya.

Sepulang kerja, aku memintanya mengatarku hingga ke kostan. Dan ia bersedia.

“Nanti malam kutelpon ya?” kataku setiba di kostan, setelah berhasil menyimpan nomor ponselnya di memori ponselku, sekaligus otakku.

Dan ia bersedia.

Dan aku sangat bahagia.***

-------------------------------------

Dedicated to ^^Wawan^^

COMMENTS :




Don't Spam Here

0 komentar to “ Lovoices ”

Post a Comment

Bagi sobat-sobat silahkan comment disini, Insya Allah saya comment balik di blog anda dan Saya follow juga. Blog 7ASK adalah Blog Do Follow, Terimakasih atas kunjungan Anda..!

 

Copyright © 2008-2011 All Rights Reserved. Mobile View Powered by 7ASK / WAWAN ADIE and Distributed by Template

Facebook Twitter Mykaskus