Kini, sudah 12 tahun lamanya perang itu berlalu. Semua orang mengatakan ingatan sebelum seseorang berumur 5 tahun akan hilang seiiring beranjak dewasanya anak itu. Tapi bagiku – Ruf Clane, ingatan umur 4 tahunku itu tidak akan pernah hilang.
Saat ini aku berada di kota De Central. Di sinilah aku tumbuh besar, bersekolah di sekolah umum, dan sekitar seminggu yang lalu, aku telah menyelesaikan pendidikanku sampai ke tingkat 3.
“Maaf menunggu lama! Ini kembaliannya!” ujar Ibu Flora si penjual bunga sambil menyerahkan selembar uang kertas dan beberapa koin. “Silakan dihitung dulu!”
Aku menghitung uang yang baru saja kuterima. Selembar uang 100 ron, 5 buah uang logam masing-masing 10 ron dan 5 buah logam yang lebih kecil atau setara dengan 1 ron masing-masing.
“Pas kok!” ujarku sambil memasukkan uang itu kedalam kantong uangku.
Bu Flora lalu memberikan bunga yang telah dibungkusnya rapi padaku, “Hari ini berarti sudah 4 bulan ya? Sampaikan salamku untuknya ya!”
“Hm…” aku mengganguk. “Dia pasti sudah beristirahat dengan tenangnya diatas.”
Aku tersenyum membalas senyuman hangat Bu Flora, lalu segera pamit pada pemilik toko bunga itu.
Celaka, matahari sudah mulai terlihat tinggi. Kalo aku tidak cepat-cepat, pulangnya aku bakal kemalaman. Aku segera berlari pulang untuk mengambil kudaku. Kupacu kudaku melewati gerbang kota.
Tempat pemakamannya memang agak jauh, memakan waktu setengah hari walau dengan kuda. Wajar saja mengingat orang itu meminta dimakamkan di atas bukit.
“Akhirnya!”
Setelah beberapa lama memacu kudaku, akhirnya aku tiba juga di puncak bukit. Aku lalu mengikat kudaku di salah satu pohon. Kuda itu tampak mulai memakan rumput jadi kutinggal saja ia disana. Segera kuberjalan memasuki komplek pemakaman.
Komplek pemakaman yang tak begitu besar. Sebuah pagar setinggi 1 meteran dari kayu bercat putih ditancap berjarak 15 cm antara yang satu dan lainnya tampak kokoh mengelilingi area itu. Papan bertuliskan Hir Cemetery dipasang pada salah satu balok kayu tepat di sebelah kiri pintu masuknya. Lantainya tersusun dari batu-batu yang berwarna putih. Sekitar 20-an makam masing-masing berukuran kira-kira 2x2 meteran. Semuanya tertata rapi membentuk 3 barisan di sebelah kiri dan kanan.
Aku lalu berhenti di depan salah satu makam, “Hari ini peringatan 4 bulan …” ujarku sambil meletakan bunga di bawah batu nisan yang masih baru itu.
“Aku rindu denganmu!” ujarku lagi sambil memegang tulisan emas yang diukir di batu nisan itu. Cuaca di bukit memang enak, tidak begitu dingin dan panas. Kini aku tahu alasannya memilih tempat ini.
Aku tersenyum, ‘Fhuuu…’
Aku menghirup hawa sejuk di bukit itu sambil duduk. Hamparan langit biru yang luas dan angin yang sepoi-sepoi. Tempat ini memang yang terbaik.
‘Huah…’
Aku mulai menguap, kututup mulutku. Aku bangun pagi hari ini, dan kini sangat mengantuk. Eh, tidak ada salahnya kan kalau aku tidur sebentar. Keadaan disini juga sangat mendukung, begitu sunyi, sejuk, dan juga indah. Aku lalu memejamkan mataku.
“Hey… bangun!” tiba-tiba kurasakan badanku diguncang-guncang oleh seseorang.
Walau begitu, mataku tetap terasa berat untuk dibuka, “Hm…” kujawab saja sekenanya.
“Hey… Bangun!” teriaknya keras tepat di samping telingaku.
Aku terbangun kaget, sebuah suara yang kukenal. Perlahanku buka mataku, samar kulihat sepasang kaki tepat di depan wajahku. Aku beranjak bangun sambil menoleh keatas untuk melihat wajahnya.
Namun terlalu silau, saat itu mataku belum menyesuaikan dengan cahaya yang ada.
Siapakah dia?!
Walau aku berusaha memicingkan mataku, tidak mungkin melihat wajahnya dari sini.
“Emm…” Aku kemudian mencoba untuk berdiri.
Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya, “Dasar… bisa-bisanya kamu tertidur disini!” ujar suara yang terdengar akrab di telingaku begitu aku mengulurkan tanganku.
Suara ini kan…
“Zeren!” Aku lalu memeluk manja cowok yang mengenakan pakaian seragam kerajaan itu. “He… he…”
“Tetap tidak berubah ya Ruf?” ujarnya kemudian. “Rambutmu sudah makin panjang saja!”
Memang rambut emasku yang bergelombang itu tidak pernah kupotong lagi semenjak pertemuaan kami yang terakhir..
“Hanya rambutmu saja yang panjang, tapi kamu sudah tidak bertambah tinggi lagi ya?” Zeren tampak berusaha menahan tawanya. Aku benci ia mulai mengungkit-ungkit tinggi badanku, tak perlu diingatkan terus aku juga sudah tahu bahwa tinggiku sejak umur 12 tahun cuma 146 cm dan tidak bertambah-tambah lagi semenjak itu.
Aku lalu cemberut.
“Baiklah… aku tidak akan mengejekmu lagi tuan putri! Maaf…” ujar Zeren sambil membungkuk layaknya gentleman.
Aku kemudian menatapnya. Kuperhatikan cowok itu dengan seksama, rambut coklatnya yang dipotong rapi di atas leher serta poni yang dibiarkan panjang sehingga sedikit menutupi bagian kanan matanya.
Sialan… Zeren menjadi lebih cakep saja. Bukan itu saja…
Aku tahu. “Ah… kamu bertambah tinggi lagi ya?” tanyaku karena terakhir menemuinya kira-kira 4 bulan yang lalu dia tidak setinggi ini.
Zeren lalu menggaruk kepalanya, “Kelihatan memangnya, padahal cuma 3 cm saja. Dihitung-hitung berarti tinggiku kini 181 ya…”
Aku melirik bunga yang ada ditangan kirinya, “Bunga itu untuk paman kan?”
“Ya…” Ia mengangguk kecil sambil memberikan bunga itu kepadaku.
Aku lalu menerima dan menaruhnya di bawah nisan, “Bunga Matahari kesayangan paman sebanyak ini. Paman pasti senang kan?”
Aku dan Zeren lalu bersama-sama mencabut rumput liar yang baru tumbuh di makam Paman Van. Matahari sudah mulai tenggelam, kami lalu beristirahat.
Zeren mengambil botol air di pelana kudanya tak jauh dari makam dan berlari kecil kearahku, “Ini… kamu pasti tidak membawa air kan?”
Tebakannya memang benar.
“Itu karena aku hanya berencana memberikan bunga lalu pulang!”
“Oh… tertidur itu juga bagian dari rencanamu?” Ia memandangku. Aku menjadi salah tingkah.
“Itu… itu…” ujarku gugup karena dipandangi seperti itu.
“Ah… kecelakaan… karena cuaca begitu bagus… Lagipula kalo aku tidak tertidur kan kita tidak mungkin bertemu disini!” sebuah pembelaan akhir yang tepat.
Zeren cemberut.
“Kau tau Ruf, aku paling mengkhawatirkanmu…” ujarnya membuatku terdiam.
“Kalo saja aku tidak datang hari ini dan kau tidak bangun sampai malam entah bagaimana jadinya!”
Kini wajahnya penuh kekhawatiran, benar-benar membuatku merasa tidak enak.
Aku lalu bangun dan membersihkan celanaku, “Bukankah itu tidak terjadi!” ujarku membungkuk ke Zeren yang masih duduk. Sesaat kami beradu pandang.
Zeren menggeleng, ia lalu berdiri.
“Aku memang tidak pernah menang beradu mulut denganmu!”
Sekarang giliran Zeren yang membungkuk menyesuaikan denganku.
Ia lalu menjitak keningku, “Kekanak-kanakan, malas aku meladenimu," Zeren lalu berbalik.
Ia berjalan pelan dan ketika ia sudah hampir ke sampai gerbang, ia lalu berhenti.
Masih dalam keadaan membelakangiku, ia melambaikan tangannya memberi aku isyarat untuk mengikutinya, “Ruf…”
Aku menyeringai, dipikirnya aku ini pembantunya apa! Seenaknya menyuruh saja. Walau begitu kakiku tetap melangkah kearahnya.
Sesampainya di gerbang kota, aku menghentikan kudaku dan turun. Setelah memasuki wilayah De Central, kita memang harus berjalan kaki. Berjalan di atas batu bata yang telah ditutupi oleh salju. Sekarang sudah mulai memasuki musim semi, tapi salju masih saja turun.
Aku menggosok kedua tanganku agar hangat kemudian menghembuskan nafas hangat ketelapak tanganku.
Aku menjatuhkan tali kekang kuda dari tanganku kananku. Ringkikan kuda di belakangku membuatku terkejut dan spontan menoleh kebelakang,
Zeren tampak turun dari kudanya, “Oh ya, aku lupa memberitahumu tadi. Dua minggu ini aku libur, jadi akan menginap dirumah.”
Aku menggosok kedua tanganku lagi sambil meniupnya pelan.
“Oh ya…” ujarku dengan nada datar berusaha meyembunyikan kegembiraanku. Sambil tetap membimbing kudaku aku berjalan pelan. Zeren juga mengikutiku dari belakang.
Sudah 4 tahun berlalu sejak ia melanjutkan pendidikannya hingga ke sekolah kerajaan, dan selama itu juga ia tinggal di asrama – aku sendiri tinggal di rumah bersama paman Van sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kami melewati kawasan pertokoan yang tampak sepi, memang sekarang sudah waktunya untuk tidur. Yang terlihat hanya nyala lampu penerang di sisi kiri kanan jalan. Walau kota De Central merupakan pusat pemerintahan, rumah Paman Van yang kutinggali saat ini berada di pinggiran kota. Dihitung-hitung mungkin 1 jam jaraknya dari kawasan padat penduduknya sehingga disini tidak begitu ramai.
Aku berhenti di sebuah rumah berbentuk kubus dengan cat putih. Sebuah rumah yang cukup besar. Dari luar telihat 1 pintu tepat ditengah bagian bawahnya dan 3 jendela persegi kecil – masing-masing tersusun seperti mata dan hidung di atas pintu.
“Akhirnya sampai…”
Aku mengeluarkan kunci dari tasku dan membuka pagar di depanku. Setelah membuka pagar kayu itu lebar, aku berbalik mengambil kekang kudaku.
Zeren lalu mengulurkan tangannya.
“Biar aku yang saja! Kamu masuk saja ke dalam rumah, bukankah kamu sudah kedinginan?”
Zeren tampak tertawa, giginya yang putih tampak terlihat samar-samar tertutup oleh hembusan nafasnya.
Aku melepas peganganku dari kuda.
“Terima kasih!”
Aku lalu berlari menuju pintu rumah. Sejak tadi aku memang sudah kedinginan.
“Aku akan menyiapkan makanan!” teriakku pada Zeren yang sedang menggiring kuda ke istal di belakang rumah. “Jadi jangan lama-lama atau bagianmu akan kumakan juga!”
Tak lama…
Zeren sudah duduk berhadapan denganku di meja makan. Tampak keranjang yang penuh dengan tumpukan roti tersusun tinggi di tengah kami – ada yang bulat, lonjong, dan berbagai bentuk lainnya.
Awalnya, kami lalu mulai makan dengan lahap. Tapi beberapa saat kemudian, Zeren menghentikan makan dan menaruh roti kembali ke piringnya.
Ia lalu memasang tampang yang serius.
“Ruf, ada yang ingin kubicarakan padamu!”
“Hmm… Kaaatakaan saadja…” ujarku sambil tetap mengunyah makananku. Tidak sopan memang, tapi Zeren juga salah mengajakku ngobrol disaat makan.
“Begini… aku memikirkan bagaimana kalo kita pindah kembali ke El South?” ujarnya tiba-tiba hingga membuatku tersedak. Ia lalu memberikanku gelas minumannya.
Aku mengambil air yang diberikan Zeren padaku.
Zeren melihatku khawatir, “Apa kamu baik-baik saja?”
Aku menelan habis makananku dengan bantuan air tadi.
“Bagaimana bisa baik? Apa maksud kakak dengan pindah kembali ke El South?”
El South, kota yang kutinggalkan 13 tahun yang lalu. Semenjak itu pula aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi.
“Begini, beberapa tahun ini aku sempat balik ke El South. Rumah kita yang dulu, apa kamu masih ingat?” tanya Zeren berharap.
Aku menggangguk pelan. Memang aku masih mengingat jelas rumah bergaya eropa itu.
Zeren lalu tersenyum. “Rumah itu 2 minggu yang lalu sudah kuperbaiki dan kubersihkan. 3 bulan lagi aku akan lulus, aku memikirkan…”
Ia tampak ragu sesaat sebelum meneruskan perkataannya.
“Bagaimana kalo kita pindah dan menetap disana?”
Akhirnya Zeren mengatakannya juga, kalimat yang tidak ingin aku dengar.
“Pindah ke…” aku menggulang perkataan Zeren. Barangkali kakakku tadi hanya salah ucap saja dan tak serius.
Zeren mengangguk, “Tidak masalah kan. Kamu sudah lulus, paman juga sudah tidak ada…”
“Aku…” ujarku sambil menatapnya.
Liat aku kakak. Aku tidak mau kembali kesana – aku senang berada di De Central.
Dilihat dari wajahnya, Zeren tampak begitu mengharapkan aku berkata ya. Tapi aku sudah memutuskan tidak mau balik kesana.
“Aku tidak…”
Rasanya mulutku kaku. Aku tidak sanggup melanjutkan kata selanjutnya. Zeren bakalan sedih kalau aku menolaknya.
“Sebenarnya aku tidak menolak untuk pindah ke El South.”
Mungkin kalo beradu mulut pasti aku yang menang, tapi soal bujuk-membujuk… sejak dulu aku tidak mampu menolak permohonannya. Begini-gini aku tipe cewek yang tidak ingin melihat orang yang kusayangi kecewa ataupun sedih.
Sudahlah, lagipula kan pindahan juga belum tentu sekarang Ruf. Aku menenangkan hatiku yang kalut.
Sesekali aku menoleh ke Zeren. Ia tampak senang. Eh, ekspresi itu.....
Zeren tampak menggerutkan keningnya ketika kulirik dia – seperti tampak mulai memikirkan sesuatu lagi. Perasaanku mengatakan sesuatu yang tidak baik akan terjadi. Aku harap hanya perasaanku. Tapi ekspresi itu...
“Besok… bagaimana kalo besok kita balik ke El South?”
Sebuah pertanyaan yang paling tidak ingin kudengar akhirnya terlontar dari mulutnya.
Oh tidak…
Tidak mungkin secepat itu kan. Balik ke El South besok. Memang tidak masalah bagiku karena aku juga sudah tidak melakukan apapun di sini. Tapi besok bagaimanapun itu rasanya terlalu cepat…
Harus kutolak… harus kuulur waktunya..
Setahun lagi... Sebulan...
Seminggu atau…
“Aku…” ucapku pelan sambil menutup mataku.
Saat ini yang aku bisa hanya berdoa. Aku sudah tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi padaku. Tolong kuatkan aku… Berilah aku waktu untuk menerima hal yang tiba-tiba ini.
Aku harus berani… Aku harus mempertahankan pendapatku sendiri. Pokoknya apapun yang terjadi, aku belum mau pindah dari rumah dan juga kota ini.
“Zeren … aku …”
COMMENTS :
Don't Spam Here
0 komentar to “ New Life (De Central) ”
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l:
Post a Comment
Bagi sobat-sobat silahkan comment disini, Insya Allah saya comment balik di blog anda dan Saya follow juga. Blog 7ASK adalah Blog Do Follow, Terimakasih atas kunjungan Anda..!