Friday, April 10, 2009

Cinta yang Sia-Sia

Ruang apartemen ini bukanlah ruang tempat dia dilahirkan juga dibesarkan. Bukan ruang yang menyimpan memorinya bersama kedua orangtuanya. Dan dia tahu, hatinya memang tidak berada di tempat itu.

Tapi bukan juga tertinggal kepada kedua orangtuanya di kampung halamannya. Melainkan pada laki-laki dan pisau. Pada caranya menusuk dan merobeki boneka-boneka beruang yang dibelinya. Pada laki-laki yang terus hadir dan terus menyakitinya.

Dia meneguk habis botol vodka yang dibelinya di swalayan kecil sebelum kembali ke kamar apartemennya. Entah sudah gelas keberapa namun hatinya masih juga merajuk tentang akal sehat.

Seseorang menyatakan cinta dan melamarnya tadi pagi. Menyematkan sebuah cincin berlian di jari manisnya. Menegaskan berulang-ulang bahwa dia sungguh-sungguh ingin menikahinya. Dia menata rapi dirinya pagi itu tapi dia sungguh tak tahu di mana dia pernah meletakkan hatinya. Dia mencari-carinya di mata pria di hadapannya, mungkinkah hatinya telah dia titipkan pada pria yang melamarnya?

“Ibu, besok saya pulang,” suaranya hampir tidak dikenali oleh Ibunya di seberang sana.

“Kamu sedang sakit, Nak?”

Dia membisu. “Saya akan menikah.”

Tut. Diakhirinya percakapan mereka.

*

(Hypnotized Dulu dia pernah bermimpi akan dinikahi oleh seorang pilot, dulu dia pernah bermimpi menjadi pramugari, tapi mimpi baginya akan selamanya menjadi masa lalu. Dia terlalu takut mewujudkan satu per satu bola mimpinya hingga akhirnya, dia tak pernah mewujudkan semua itu.

Pesawat lepas landas. Diperhatikannya sekitarnya. Seseorang yang kesulitan memasang sabuk pengaman. Seseorang yang berbisik dan menunjuk-nunjuk pemandangan di luar kaca pesawat kepada bocah kecil di sebelahnya – seolah begitu antusias untuk bisa memperlihatkan dunia yang sesungguhnya – tentang ketidakteraturan pola dari awan-awan putih di langit biru. Juga pada pramugari di hadapannya yang begitu anggun, yang sedang menjelaskan tata cara terjun dari pesawat ketika suatu saat pesawat oleng atau lepas kendali – dan entah apa istilah formalnya. Ritual khususnya menghadapi standar pelayanan itu hanyalah dengan memijiti dahinya.

*

(#) Bukan sesuatu yang berbeda, seharusnya. Dia baru saja tiba di tempat yang familiar baginya. Bandara tempat cinta pertamanya pernah mengecup dahinya sebelum dia pergi. Tempat mereka terakhir kali bertemu pandang. Masih diingatnya sosok itu. Pria berlesung pipit, bermata lebar. Pria berdada bidang. Kini – pria itu – telah pergi ke surga. Selamanya.

Dia berjalan di tengah lalu-lalang dan keriuhan orang-orang hanya dengan menggendong sebuah ransel. Dipindahkannya letak kacamata hitamnya ke rambutnya. Dia menuju ke keramaian dan lalu memesan taksi.

*

($) Adiknya spontan memeluknya ketika membukakan pintu. Dan dia spontan mengacak rambut adiknya itu. Diperhatikannya, tinggi gadis kecil itu sudah bertambah hampir tiga puluh senti setelah lama dia tinggalkan.

“Apa kabarmu? Aku sudah lama merindukanmu,” ujarnya penuh sayang.

“Tapi Kakak tidak pernah pulang.” Jawab adiknya.

Dia tak pernah pulang – bahkan ketika kakeknya meninggal karena serangan jantung. Ketika adiknya lulus sarjana dengan predikat sangat memuaskan. Ketika cinta pertamanya mengalami kecelakaan pesawat saat bertugas dan lalu dikremasi di tanah kelahirannya.

“Ibu di mana?” dialihkannya tatapannya dan lalu dia melangkah masuk.

“Di dapur, Kak.”

Ayahnya berjalan ke arahnya. Dipeluknya Ayahnya lalu disalaminya seperti biasa.

“Sudah lama sekali,” Ayahnya berujar. Begitu lama – namun Ayahnya tak pernah mengunjunginya ke tempatnya, “tiba-tiba pulang, kamu bawa berita apa?”

Dia hanya bisa tersenyum, “Pernikahan.”

“Berita bagus.”

*

(%) “Besok dia akan datang,” dia memelankan temponya mengunyah makanan di mulutnya, “bersama keluarganya juga beberapa kerabat dekatnya.”

Ayahnya tersenyum sumringah, “Kali kedua Ayah akan beradu mulut dengan pria pilihanmu.”

Ibu dan adik-adiknya tertawa. Suasana di meja makan yang sudah lama tak dialaminya.

“Aku ingat waktu Ayah menginterogasi pacar Kak Sita.. Waktu Ayah menginterogasi Kak Adit!” Nadia – adik bungsunya – angkat bicara. Sita juga ingat waktu Nadia memasukkan kecoa ke cangkir teh Adit sewaktu dia bertandang untuk melamar. Dan bagaimana seisi rumah menertawakan Adit yang langsung menjatuhkan cangkirnya di hadapan calon mertuanya.

“Jangan ulangi kenakalan yang sama,” Ayahnya berujar, “kalau kamu nggak mau Ayah jahili calon suamimu.”

“Iya Ayah, iya. Ampun, ampun.”

“Ciee.. siapa, tuh?” Sita menyahut nakal, “Jangan bawa ke Ayah. Bawa ke Kakak dulu. Nanti biar Kakak yang interogasi.. Tes ketahanan menghadapi adik Kakak yang bandel ini..”

“Ada, Kak.” Lidya menyahut, “Mario, namanya.”

Nadia melempar brokolinya ke piring Lidya, “Ssst.. Jangan bilang-bilang!”

Mereka serempak tertawa. Pipi Nadia merona merah. Dan Sita sadari, kejadian sepuluh tahun lalu kembali terulang. Tidak ada yang benar-benar berubah.

*

(^) “Sayang, Ayahku masih di luar negeri. Mungkin kami tidak bisa datang hari ini.” calon suaminya mengabarinya, “Titip maafku ke calon mertuaku ya, Sayang.”

Dia terhenyak. Untunglah. Ada perasaan lega memenuhi dadanya. Bahwa mungkin dia tidak benar-benar siap menikah dengan seseorang – tidak benar-benar siap dilamar oleh seseorang yang sudah hampir tujuh tahun menjalin hubungan dengannya.

“Lain waktu saja kalau begitu,” jawabnya, “Biar kujadikan kepulanganku kali ini sebagai rekreasi. Kamu baik-baik di sana?”

“Nothing wrong with me, selain merindukanmu, sangat.”

“Baguslah. Jangan selingkuh, ya.” Ujarnya bercanda.

“Pasti. Pasti selingkuh,” Pria di seberangnya tertawa, “selingkuh dengan tumpukan pekerjaanku.”

“Asal jangan terlalu diforsir selingkuhnya..”

Dan mereka tertawa. “Miss you.”

Lalu mengakhiri pembicaraan.

“So?” Nadia menatapnya lekat. Tersenyum nakal.

“So, he’s not coming,” Lidya menjawab, “jadi dandanan kita?”

Sita mengamati kedua adiknya yang kecentilan itu. Full make-up. “Kita jalan-jalan.”

“Horeeeee... asyik! Ditraktir ya, Kak!” Nadia meloncat-loncat lalu memeluknya.

Dia lebih memilih untuk bisa selalu jalan-jalan di pantai sendirian ketimbang jalan-jalan di pelaminan berduaan.

*

(&) Dia dan Adit. Mengukir nama mereka di semua tempat yang mereka kunjungi. Di pasir pantai, di pepohonan, di dek-dek kayu kano yang berjajaran, di meja restoran, di semua tempat yang mungkin dicemari oleh cinta mereka di pantai Sanur.

Kedua adiknya menggerutu gemas karena dia justru mengajaknya ke pantai ini dan bukan ke Kuta. Di sini tak ada jalanan yang penuh sesak oleh turis, tak ada restoran-restoran seafood kegemaran Nadia, tak ada jajaran toko pakaian dan aksesori di sekitarnya. Tapi selalu ada ketenangan – selalu ada ketentraman bagi Sita untuk mengenang sosok seorang Adit.

Selalu ada Adit di bale itu. Di saat mereka bermain catur dan Sita selalu kalah. Kemudian yang menang akan melemparkan sekeping logam lima ratus rupiah ke dalam lautan lalu memohon sesuatu untuk dikabulkan.

Sita tidak pernah menang dan Sita tidak pernah bisa memohon. Sita tak pernah bisa memohon kepada dewa lautan agar menjaga Adit suatu saat ketika mereka terpisah – suatu saat ketika abu jenazah Adit dibenamkan di tengah laut.

Dan betapa permohonan Adit selalu dikabulkan. Permohonan yang selalu untuknya, selalu untuk Sita dan cinta mereka berdua.

“Kakak kenapa menangis?”

“Ingat Kak Adit?”

Dia mengangguk. Selalu mengingatnya.

*

(*) “Narkoba?” ujar Adit padanya saat itu, “Kamu pakai narkoba, Sit?”

Dia menelan ludahnya. “Ayahku juga. Tapi itu dulu, Dit.”

“Bagaimana bisa? Ayahmu, kan, seorang polisi?”

Sita menggeleng, “Ayah selalu membawa pulang barang sitaannya. Kadang Ayah memakainya, kadang justru dijualnya. Ayah tidak pernah tahu, kalau aku diam-diam memerhatikannya.”

“Dan mencurinya?”

Sita mengangguk, “Hidupku berantakan, Dit. Aku nggak seperti apa yang dilihat orang.”

“Tapi ini narkoba, Sita.” Adit menukas, “Sesuatu yang tidak seharusnya kamu sentuh.”

“Seks juga bukan dunia yang seharusnya aku masuki.” Sita meradang.

“Maksudmu?”

Sita terdiam seribu bahasa. Dia hanya ingin berterus terang kepada orang yang dia cintai.

“Jelaskan padaku, Sita.” Ujar Adit kala itu, “Aku tunanganmu.”

“Aku hanya ingin jujur, Dit. Kita akan menikah. Kamu harus tahu siapa aku.”

“Maksudmu kamu pemakai dan..,” Adit menarik nafasnya, “pelacur?”

Air mata mengalir di pipi Sita. Sesuatu yang sulit dia jelaskan.

“Sebelum bertemu denganmu, iya.”

Adit menggelengkan kepalanya lalu tertawa frustasi, “Pandai sekali kamu menyimpan rahasia,” Wajahnya nampak marah, “atau justru berbohong? Apa kamu tidak ingin menikah denganku sehingga kamu membuat alasan sekonyol ini?”

“Setelah bertemu denganmu, aku melepas semua itu.” dia menjawab, “Kecuali sabu-sabu. Kadang-kadang aku masih membutuhkannya.”

“Kenapa selama ini kamu tidak pernah jujur?”

“Karena aku mencintaimu, Adit. Aku tidak ingin kehilanganmu.” Dia menangis. Bagaimana caranya agar Adit tahu? Agar Adit bisa mengerti?

Adit terdiam. Hanya bisa diam dengan mata memerah.

“Adit.. aku mencintaimu. Kupikir kalau kamu mencintaiku, kamu nggak akan mempersalahkan semua ini. Kupikir kamu akan tetap mencintaiku. Kupikir tidak ada masalah antara aku pengguna ataupun aku yang seorang pelacur. Kupikir..”
“Kita batalkan saja pernikahan kita.” Sesuatu rontok dari hatinya ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulut calon suaminya.

“Adit..” dia terdiam, “Kupikir kamu akan mengerti.”

“Dalam hal ini, cintaku butuh logika, Sita.” Dia terdiam sejenak, “Aku membutuhkan seorang Ibu yang baik untuk mengasuh anak-anakku.”

“Aku akan berubah, Adit. Aku janji, aku akan berubah.”

Hatinya hancur. Terlebih ketika Adit berjalan meninggalkannya.

*

(Q) Apa yang lebih dia takutkan – entah kehilangan hidupnya atau kehilangan seseorang yang sangat dia cintai. Dia belum berterus terang kepada calon suaminya yang baru – tentang dirinya yang mantan pengguna narkoba, yang pernah menjadi seorang pelacur, juga tentang dirinya yang kini mengidap AIDS.

Dia tidak berani berterus terang. Dia tidak berani menolak lamaran Dion – ketika pria itu dengan sungguh-sungguh mengalungkan kalung berliontinkan sepasang angsa untuknya, ketika pria itu juga menyematkan cincin berlian yang indah di jari manisnya.

Dia tidak berani kehilangan cintanya lagi.

“Kak, kita pulang saja, ya?” Nadia meringis.

Lidya memandangi matahari yang terbenam. Sementara Sita terus menangis.

Seperti halnya matahari yang membutuhkan waktu untuk bersembunyi, dia sungguh membutuhkan alasan untuk mati.

*

(W) “Sayang?” dia mengangkat telepon dari Dion, “aku sedang di rumahmu.”

Sita menghapus air matanya lalu menggelengkan kepalanya, “Katamu kamu tidak akan datang, Sayang? Katamu Ayahmu masih di luar negeri?”

“Kejutan untukmu, Darling. Aku tidak tahu kalau kamu akan memutuskan untuk pergi jalan-jalan.”

“Dari mana – bagaimana bisa.. siapa yang memberitahumu alamat rumahku, Dion?” dia bertanya terbata.

“Aku memegang diarimu, Sayang.” Ujar Dion di telepon.

Dia menarik nafasnya. Sungguh dia ingin berteriak. Diari itu. Lima belas diari. Semoga Dion tidak membaca sesuatu mengenai narkoba, atau seks, atau AIDS. Semoga Dion tidak membacanya. Tapi tunggu dulu, diari yang mana yang dipegang Dion?

“Dari mana kamu mendapatkan diariku?” akhirnya itulah yang dia tanyakan.

“Di kamar apartemenmu, Sita..”

“Di mana kamu dapatkan..?”

“Bukannya aku memang memegang duplikat kunci apartemenmu, Sayang?” Dion memotongnya, “Bukannya kita sama-sama memegang kunci kita?”

“Dion.., tapi, diariku tidak kuletakkan di meja sembarangan. Diariku ada di dalam lemari. Kamu membongkar barang-barangku..?”

Dion tertawa, “Aku bercanda, Sayang.” Terdengar suara tarikan nafasnya, “Aku tahu kamarmu adalah privasimu. Alamatmu kudapatkan dari Regina, teman sekantormu.”

Sita memejamkan matanya. Oh, Tuhan, candaan Dion benar-benar hampir membunuhnya.

“Dion!” dia berteriak, “Terus kamu serius lagi ada di rumahku?”

Dion tertawa, “Ini lagi memperhatikan Ayahku ngobrol sama calon besannya. Sementara aku disuruh jalan-jalan dulu di taman belakang. Tempat kamu biasa melamun, katanya.”

“Ayunan itu?”

“Iya, Darling. Sini, pulang. Temani aku duduk di sini.”

“Oke, oke, wait. Tunggu aku.”

Tut.

“Jadi kita pulang?” raut wajah Nadia berbinar ceria.

Sita mengangguk, “As you wish.”

*

(E) “Ayah menyetujuinya?” Sita terpana, “Jadi artinya?”

“Kita menikah.” Dion yang menjawab.

Mereka tertawa bersama. Akhirnya.

Sesuatu yang sejak dulu dia cita-citakan. Tidak bisa menikah dengan seorang pilot, paling tidak dia akan menikah dengan anak seorang pengusaha maskapai penerbangan.

“Bersama dalam suka maupun duka.” Dion mengecup dahinya.

Dalam suka maupun duka.

*

(R) Resepsi yang dia nanti-nantikan. Resepsi yang seharusnya terselenggara sebelum dia mengidap AIDS. Seharusnya bukan Dion yang berdiri di sana. Tapi Adit. Selalu ada Adit di dalam ingatannya.

“Mimpi kita selama tujuh tahun,” ujar Dion di sisinya, “akhirnya terwujud.”

Mimpinya.. mimpi menikah dengan Adit dan berdiri di pelaminan bersama Adit.

*

(S) “Adit, kumohon, kamu harus mengerti.” Dia menarik tangan Adit ketika mereka bertemu di acara reuni SMP mereka.

“Jadi kamu ingin memaksaku untuk mencintaimu?”

“Adit.. sebelum kamu tahu ini, kamu mencintaiku, kan? Kenapa secepat itu berubah?”

“Aku ingin istri yang baik, Sita.”

“Aku kurang baik-baik apa di matamu, Adit? Apa katamu dulu tentang cinta? Cinta yang tanpa alasan, cinta yang memang cinta?”

“Sita, kamu harus logis. Seandainya aku pemakai narkoba, seandainya aku seorang pria sewaan, dan aku bahkan mengidap AIDS.., dan kamu adalah seorang wanita baik-baik yang tidak pernah mengenal semua itu, apa kamu masih mau menikah denganku?”

“Jadi kamu pria baik-baik dan aku bukan wanita baik-baik?”

“Kamu sudah mengerti.” Adit melepaskan tangannya. Pergi.

Dia mengejarnya sekuat tenaga, “Adit!”

“Pergilah dari hidupku, Sita.”

“Kamu picik.” Sepenuh daya upayanya dia berusaha mengatakan itu, “Aku mencintaimu. Tulus dari dalam hatiku. Dan kamu menolaknya? Di mana perasaanmu?”

“Kamu bilang begitu, karena kamulah penderitanya. Seandainya kamu berada di posisiku, kamu pasti akan mengambil keputusan yang sama denganku.”

“Dari mana kamu tahu?” hatinya benar-benar hancur mendengar semua keputusan Adit.

“Hatiku yang mengatakannya.” Jawabnya, “Kamu tidak mungkin mencintaiku jika kamu tahu aku bukan orang baik-baik. Karena mencintai seperti itu adalah hal yang sia-sia.”

*

(T) Mencintai bayangan juga adalah hal yang sia-sia. Mencintai Adit di dalam diri Dion akan selamanya sia-sia. Wajah yang sama, senyum berlesung pipit yang sama, cara memandang yang sama. Pelukan yang sama, kecupan yang sama. Tiada sedikitpun berbeda.

“Dion, aku butuh bicara.”

“Bicara apa, Sita?”

“Sesuatu yang hanya bisa dibicarakan pelan-pelan.”

“Apa itu?”

“Bagaimana seandainya aku adalah mantan pemakai narkoba?” dia berbisik.

“Bukan masalah.” Bagus.

“Pelacur?”

“Asal nanti tidak lagi. Apa kamu percaya aku juga tidak mungkin perjaka?”

Dia tersenyum, “Pengidap AIDS?”

Mata bertemu mata. Dia tahu apa yang akan dijawab oleh Dion.

*

(U) Malam itu dia kembali duduk di bale yang sama. Pernikahannya dibatalkan sepihak. Ayahnya marah. Ibunya juga. Adik-adiknya menggerutu. Keluarga besarnya dibuat terheran-heran. Tapi Dion tidak memberikan alasan pembatalan itu kepada kedua orangtuanya. Bagaimanapun, Dion masih mencintai Sita, walau kini dengan cara yang berbeda.

“Kupikir, setelah aku bilang begitu, kita tidak bisa duduk berdua seperti ini lagi.”

Dion menggali dan lalu menggenggam penuh bebutiran pasir pantai di tangannya, “Aku hanya butuh waktu. Kupikir aku masih mencintaimu.”

“Tapi kamu tidak mungkin bisa melamarku lagi,” Ujar Sita, “setelah apa yang barusan kamu lakukan.”

“Tapi aku bisa mengajakmu kawin lari,” lalu Dion tertawa dan menambahkan, “bercanda.”

“Kamu tidak akan percaya bahwa hari ini aku begitu bahagia.” Setelah berkata begitu, dia lalu menemani Dion duduk di pasir pantai, kemudian dia memejamkan matanya. Angin laut menyapu poninya. Wajahnya berbinar bahagia.

“Karena batal menikah denganku?” Dion terdiam sejenak, “Sejujurnya, aku tidak menyangka harus kehilangan seseorang sesempurna dirimu.”

“Aku pernah kehilangan seseorang yang sempurna. Bahkan hingga kini, dia masih begitu sempurna.”

Dion menatap mantan kekasihnya itu lekat. Dia tidak tahu kekecewaan apa saja yang pernah menghiasi mata Sita sebelum masa delapan tahun perkenalan mereka.

“Aku pernah memiliki kekasih. Begitu mirip denganmu. Kalian seperti pinang dibelah dua.” Sita lalu mengambil sebuah foto dari dompetnya, “Namanya Adit.”

“Kami saling mencintai dan kami telah bertunangan. Beberapa saat sebelum pernikahan kami, aku mencoba jujur padanya,” Sita terdiam sejenak, “seperti apa yang kukatakan padamu tadi, bedanya, saat itu aku belum menderita HIV ataupun AIDS.”

“Lalu?”

“Dia bilang, karena itu, dia tidak bisa mencintaiku.”

Sita terdiam. Dion merasakan perasaan itu. Sesungguhnya berat baginya untuk memutuskan hubungannya dengan Sita karena dia tahu dia masih mencintai Sita. Mungkin hal yang sama dirasakan entah oleh Adit atau Sita. Atau mereka berdua. Hingga saat ini pada dimensi berbeda. Dimensi jiwa dan dimensi raga.

“Padahal bukan itu alasan sebenarnya,” Sita mengambil jeda, “tadi adiknya datang dan menceritakan hal ini padaku. Tentang perpisahan kami dan kecupan Adit di bandara. Adit masih menyimpan cintanya untukku.”

“Lalu apa masalahnya? Bukannya waktu itu kamu belum menderita AIDS?”

“Di saat yang sama, sebenarnya dia ingin jujur tentang sesuatu. Waktu yang tidak tepat.”

“Tentang apa?”

“Adit steril. Sindrom klinefelter. Dia mengecek itu sebelum memastikan untuk menikah denganku. Itu satu-satunya alasannya.”

Dion menggelengkan kepalanya tidak percaya.

“Seharusnya kami sudah menikah dan hidup bahagia.” Sita berangan-angan, “Kita tidak mungkin mencintai seseorang jika dia ternyata bukan orang yang tepat untuk kita. Karena mencintai seperti itu adalah hal yang sia-sia. Dia pernah bilang begitu padaku. Ternyata itu ditujukannya untuk dirinya sendiri. Bisa kamu bayangkan perasaanku sekarang?” Air mata Sita membasahi pipinya.

Dion memejamkan matanya. Membaui wangi lautan. Membaui kisah cinta Adit dan Sita, “Menurutmu apa kita akan selalu memeroleh apa yang kita inginkan di dalam hidup kita?”

Sita menggeleng, “Justru itu. Aku merasa tidak pernah memeroleh apa yang sesungguhnya aku inginkan.”

“Kamu salah, Sita.” Dion menggumam, “Kamu menginginkannya maka sesuatu itu terjadi. Semua berjalan sesuai keinginanmu. Keinginan tiap sel dalam tubuhmu.

Mungkin konyol. Tapi aku selalu mempelajari setiap kegagalan dalam hidupku. Ketakutan-ketakutanku. Hal-hal yang aku sia-siakan. Dan aku menemukan pola. Itulah polanya. Bermimpilah dan gapailah sekuat tenagamu.” Dion lalu menengadahkan kepalanya ke arah langit. Memandangi gugusan bintang yang entah bermuara di sebelah mana.

“Apa semua otak manusia menemukan pola rahasia? Tanpa mereka sadari, pemikiran mereka sebenarnya sama?”

“Kamu merasa begitu?” Dion terkesiap. Pemikiran mereka memang hampir selalu mirip-mirip.

“Apa jika besok aku mati, akulah yang menginginkan kematian esok hari itu?”

Dion mengangguk, “Kamu yang menginginkannya.”

“Jadi aku tidak perlu takut mati?”

“Kamu bahkan tidak perlu takut terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi.”

Mereka terdiam dan lalu menuliskan sesuatu di pasir pantai.

COMMENTS :




Don't Spam Here

0 komentar to “ Cinta yang Sia-Sia ”

Post a Comment

Bagi sobat-sobat silahkan comment disini, Insya Allah saya comment balik di blog anda dan Saya follow juga. Blog 7ASK adalah Blog Do Follow, Terimakasih atas kunjungan Anda..!

 

Copyright © 2008-2011 All Rights Reserved. Mobile View Powered by 7ASK / WAWAN ADIE and Distributed by Template

Facebook Twitter Mykaskus