Tuesday, April 14, 2009

Retorika Tanah Tua



Lama sekali, sangat lama hingga akhirnya aku menyentuh tanah itu, tanah impianku yang kukira kampung halaman walau aku tidak terlalu yakin, namun kurasa banyak cerita terukir di tanah kapurnya.

Aku hilang di dunia amnesia, aku ingat namun sebaliknya dunia lupa segalanya.

Jadilah aku asing banyak hal, termasuk cerita itu. Tapi dia terlalu nyaman untuk melayang dan terjatuh empuk di lembaran imajiku, dia seperti fasih akan seluk belukku.

Aku bertanya tanya kemudian, apa adakah sedikit jawaban mengarak di angin savana, tanah itu bergitu datar dan sepi, bahkan sekuncup anggrek hanya mampu tumbuh tak lebih sejengkal.
Tapi sesuatu kurindukan begitu mendalam.

Lamunanku berlabuh di sebuah jendela besar, dari sana jalan menjentang sutra menghilang di jauh pemandangan. Di tempat seperti itu kegalauanlah yang meraja, apa hari ini langit runtuh?

Lelaki itu menghampiriku. Apakah kamu bagian dari kenangan yang kucari? Serentak tanya melomba sembilu.
Aku mengenalmu, aku tahu aku pernah mengenalmu.

Dia berkata, "Aku kenal seorang wanita sepertimu,"

Begitu dia sebut kata itu, aku tahu bahwa tanah ini telah dimensia dan kehilangan memorinya. Tanah tua ini yang salah meletakan sketsa, aku lah yang benar disini.

==========================================

Cerita Tentang Wanita Seperti Dirimu

Wanita itu berjalan sendiri seolah dunia miliknya, dan angin membawa tungkainya ke ujung bumi dimana akhir laut biru hanya bisa di imajikan oleh para nahkoda. Waktu itu musim dingin sekali, tak ada jejak berani menapak jalanan kecuali dia.

Tidak seorangpun mengenalnya. Aku pun mengenalnya tidak cukup dalam, aku pernah melihatnya tersenyum dan berdendang ketika hujan membasahi tanah ini, tanah yang kamu idamkan ini adalah tanah yang membimbing wanita seperti dirimu. Karena dia begitu lepas di tempat ini, selepas camar putih yang nekat menghajar gelombang. Terlebih lagi angin selalu bersamanya, aku ingat sekali kala mereka membelai betis bulatnya. Dan juga bintang memadunya menjelajah dunia, mereka mengkonfigurasi panah ke haribaan yang dia puja dan dia tidak pernah tersesat, dimanapun dia selalu memiliki dirinya.

Namun tak ada yang lebih dapat dikenang selain tangisannya. Dia menangis terlalu sering hingga aku yakin yang tersisa di air matanya adalah sekedar ketir sendu, tak ada lagi cerita palsu keindahan duka yang di dongengkan kitab lama.

Aku ingat suatu ketika dia pernah menanyakanku sebuah kata, dia jarang berkata tapi dia menanyakanku sesuatu yang membuatku bertanya siapakah dia.

"Apakah itu Cinta?"

Tak ada yang mampu aku katakan kala itu, dia tahu lebih banyak dari aku, banyak rasa yang bersemayam di dirinya yang perawan tak terjamah oleh siapapun, kecuali Cinta.

Bagiku dialah Cinta, pipinya oranye memancarkan sinar mentari pagi yang membuatku terus menerus berharap akan kehidupan. Dia adalah kesegaran yang di berikan embun kepada dunia dan mengajaknya menyambut hari.

Mengapa dirimu begitu berani melawan aral sendirian wahai mutiara?

Sesungguhnya dia terus berduka akan sesuatu dan terus mencarinya dan menyakiti dirinya begitu jauh dan dalam, dia terus sendirian seerat apapun aku mendekapnya. Bagiku kamilah yang tengah berada di lautan dan tenggelam, dia begitu jauh sehingga tak ada upaya lagi untuk menariknya dari kegelapan.

"Aku hilang," katanya kebingungan. Dia manangis lagi setiap melihat kisi jendela itu.

"Aku hilang dan terus mencari dengan gila."

Aku bingung, bagiku dialah yang termegah di dunia.

"Adakah beban yang bisa kau bagi, cantik?"

Dia tidak pernah menjawab pertanyaanku kecuali tentang Cinta. Dia selalu dirumah dan nyaman ketika memikirkan Cinta. Diapun selalu hilang di dalam sibuknya Cinta ketika bencana menggila.

Seorang malaikat disana dengan sosok perkasa tetapi tetap lembut. Menatap kami yang lunglai di ruangan dengan raut penuh kasih. Sayapnya berdebu karena terlalu lama memaku, diam menanti gerakan wanita yang kukenal.

"Peluk aku, aku merana," Aku lirih mendengar pilu tangisannya.

"Begitu aku mengenalnya aku sadar aku tidak bisa memilikinya,"

Aku bertanya balik kepadanya, "Apa itu Cinta? Apa itu yang menghantui hari harimu?"

Di dunia yang sepi milik kami, dia hanya tertarik pada Cinta.

Di langit tinggi dan tanah rata begini hanya Cintalah yang bisa mengalahkan mentari.

Malam itu dia bernyanyi melipurkan lara, gerombolan anjing hutan mengelilinginya dan ikut bernyanyi bersama. Senar gitarnya sudah sangat tua dan berkarat, sekedar gesekan rumput membingkai nada.

Aku masih di kakiku saat itu, aku belum di surga.

Aku ingin memeluknya, tak peduli seribu lapis korona lidah api mengoar hawa.

"Dia iblis..." malaikat putih itu berbisik di telingaku dengan mesra,

Aku menangisi kegalauan ku dan cemburu akan Cinta yang ia agungkan.

Berhentilah berdarah luka kecil, karena aku tak mau mati kedinginan di penantianku.

"Wanita pucat itu... sebanyak apa rasa yang bisa kamu titiskan sebagai manusia?"

Dia tersenyum simpul, aku merasa aku jatuh cinta, namun aku tidak yakin apakah ini Cinta yang sama seperti yang dia puja.

"Lidahku terlalu nista untuk Cinta, ku puja dia seperti wulan purnama. Sekedar ini cumbuanku, aku tidak bisa merengkuhnya,"

Dia tersedan lagi.

Aku menemaninya menangis cukup lama, hingga suatu ketika bintang berubah konstelasi dan mengajaknya melanglang buana. Dia beranjak lagi sendiri.

Aku tak pernah bisa tertawa semenjak berabad lalu, dan kini dirimu seperti wanita yang kukenal, seandainya dia datang kembali aku ingin memintanya mengajakku ikut tenggelam.

======================================

COMMENTS :




Don't Spam Here

0 komentar to “ Retorika Tanah Tua ”

Post a Comment

Bagi sobat-sobat silahkan comment disini, Insya Allah saya comment balik di blog anda dan Saya follow juga. Blog 7ASK adalah Blog Do Follow, Terimakasih atas kunjungan Anda..!

 

Copyright © 2008-2011 All Rights Reserved. Mobile View Powered by 7ASK / WAWAN ADIE and Distributed by Template

Facebook Twitter Mykaskus