Wednesday, April 15, 2009

Sebening KasihNya: Fragmen 2


Beberapa bulan telah berlalu seperti biasa aku menjalani hari-hari dengan biasanya sebagai seorang penulis lepas, programmer lepas, dan fotografer lepas. Tidak ada pekerjaan tetap yang kumiliki melihat sulitnya mendapatkan pekerjaan di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, hanya sebuah title yang kusandang sejak lulus kuliah dulu sebagai sarjana teknik. Lain halnya dengan istriku, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan predikat cumlaude dan kini bekerja sebagai dokter di beberapa rumah sakit di daerah Jakarta dan sekitarnya.

Aku pernah merasa minder dengan istriku. Parasnya yang cantik, putih dan bersih sangat berbeda jauh dengan diriku. Aku yang memiliki paras pas-pasan dengan warna kulit kecoklatan ditambah lagi beberapa bekas luka di lengan, dagu serta keningku. Luka karena kecelakaan yang lama kudapati semenjak sekolah dasar. Namun, aku sangat bangga terhadapnya walau kadang dia sangat manja kepadaku, sebagai suami aku merasa sangat beruntung mendapatkannya. Perempuan shalihah yang bertakwa, mencintai kebaikan dan tak pernah lupa berdzikir kepada Allah. Mendengar kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulutnya pun aku tak pernah.

Beberapa hari terakhir kondisi kesehatan istriku mulai tidak stabil, nafsu makannya berkurang, dan tubuhnya semakin kurus. Aku pikir ini hanya karena aktifitasnya yang melelahkan dan butuh cukup istirahat saja. Namun, perkiraanku meleset. Istriku mengidap penyakit ganas yang memaksanya untuk mengehentikan aktifitas kedokteran dan mengharuskannya opname sebagai pasien di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta Barat.

“Abi, Sudah jam berapa ini?” Tanya Tirtir yang terbangun dari tidurnya dengan suara cukup berat.

“Jam setengah dua pagi, sayang. Kenapa?” aku berbisik di telinganya.
Tirtir terdiam sejenak. Matanya menerawang ke langit-langit, aku hanya diam dan menahan air mata yang siap tumpah.

“Umi haus…” Nada suaranya semakin lirih dan hampir tak terdengar.

Langsung saja aku mengambil segelas air putih dari meja dekat tempat Tirtir terbaring lemas. Sebelum kusematkan sebuah sedotan ke bibir Tirtir, kutangkap sebuah nada datar keluar dari bibirnya, sebuah doa yang terlantun berulang kali dan terus dilantunkannya. Aku bergetar menyaksikan istriku begitu lemah.

“Umi, minum dulu ya.” Tukasku, sembari membantunya bangkit dari pembaringan.

Usai Tirtir minum, aku meminta diri untuk pamit sejenak menunaikan shalat tahajud dan meminta Mas Adi untuk menjaga Tirtir selama aku pergi ke masjid.

Malam semakin hening dan sunyi. Hanya nyanyian gerimis dengan wangi petrichor(2) yang menyeruak dan detak jarum jam yang begitu kuat terdengar di telingaku. kutunaikan tahajudku lalu sesenggukan begitu saja dalam setiap doa yang kupanjatkan untuk istriku.

dalam dekapan tangan cinta
aku pasrahkan pada Sang Maha Pencipta
karena hanya di dalamNya
kesejatian cinta menjadi nyata

apakah ia memiliki cinta sekadar dengan cintaku padaMu?
cinta itu muncul dengan ketakberdayaannya
menyergapku
memelukku

aku pasrah
tapi bukan tidak berdaya
aku menerima
tapi bukan tanpa senang dan bahagia

jiwa yang telah Engkau pilih
oleh cintaMu yang tulus
tidak akan gamang dengan kedudukan
apalagi oleh rupa dan penampilan

ia hadir begitu anggun
yang akan menghibur saat sedih
saat aku terpuruk
membimbing hati
dan menjadi pelita dalam gelap

saat kerinduan padaMu telah memuncak
aku berdoa untuknya
dan karena rindu yang sudah tak tertanggungkan(3)
***

Aku berlari dari area parkir menuju pintu Rumah Sakit Dharmais. Sempat kulirik beberapa orang yang duduk di ruang tunggu dekat pintu masuk memandangiku heran. Tanpa menghentikan lariku, langsung saja aku menuju ruangan Dokter Anies, teman semasa sekolah menengahku dulu dan juga yang manangani kesehatan istriku saat ini.

Sampai di depan pintu masuk ruang dokter, aku menyapa Mas Adi dan langsung saja menanyakan apa yang terjadi. Mas Adi hanya menjelaskan kesehatan Tirtir yang mulai memburuk.

“Kata Dokter Anies, Tirtir harus segera dioperasi.” Ujar Mas Adi.

Mendengar hal itu membuatku syok tak karuan. Aku rebahkan tubuhku keras ke dinding kamudian menangis sesenggukan. Aku khawatir kehilangan Tirtir dalam operasi ini walau aku akan kehilangan kesempatan memiliki seorang anak dari rahimnya. Tangisku sungguh tak tertahankan.

“Tenanglah, Angga. Serahkan kepada Allah. Dia yang memiliki segalanya.” Mas Adi menenangkanku walau aku menangkap matanya pun mulai tergenang air mata.

“Baiklah, Mas. Saya paham. Hanya ini satu-satunya jalan terbaik untuk menyelamatkan Tirtir.” Aku berusaha sekuat tanaga menahan air mataku dan kembali mengatur nafasku agar emosiku dapat terkandali.

“Saya masuk dulu untuk bertemu Dokter Anies.” Lanjutku.

Mas Adi menganggukan kepalanya dan mencengkram bahuku kuat seakan-akan dia berusaha untuk membuatku tegar dan ikhlas.

Setelah dokter mempersilakan aku duduk dan kami bertegur sapa sejenak, aku langsung saja menyetujui apa yang disampaikan dokter Anies kepada Mas Adi.

“Angga, tunggu dulu. Kamu tahu kalau operasi ini kamu setujui maka istrimu tidak akan bisa memberikan keturunan?” Anies mengingatkanku sebelum aku menandatanagani surat keputusan tersebut.

“Saya tahu Nies dan saya tidak ingin istri saya menderita dengan penyakit ini.”

“Hm… baiklah, silakan tanda tangan dan doakan saya agar operasi berjalan dengan lancar.”

“Amin” ujarku singkat dan segera menandatangani surat keputusan itu.

“Operasi akan dimulai jam empat sore ini. Temuilah istrimu. Saya yakin dengan ketegaran dan ketabahan istrimu. Dia adalah dokter yang sangat hebat.” Anies tersenyum padaku.

Di kamar sebuah rumah sakit, aku duduk di samping istriku yang masih terlelap dalam tidurnya. Kuperhatikan tubuhnya yang semakin kurus, wajahnya cekung tak seperti dulu, selalu ceria dengan lesung pipinya yang manis. Kini ia tergeletak lemah.

Jarinya bergerak perlahan, terang saja kugenggam telapak tangannya untuk memberikan kekuatan dan isyarat bahwa aku ada di sampingnya. Sesaat itu pula ia membuka matanya lalu melirik kepadaku. Ia berusaha menyunggingkan senyuman dan mengerlingkang mata kanannya kepadaku. Aku tersenyum dalam balutan air mata.

“Abi, Umi kangen…” Tirtir mulai berbicara.

“Kangen Abi, ya?” Aku menggodanya. Dia hanya tersenyum kecil sambil menahan sakit yang kulihat dari air mukanya.

“Sayang istirahat saja, ya.”

“Umi capek tiduran terus!”

“Abi ganggu Umi tidur, ya?”

“Gimana bisa tidur? Umi dari tadi merem-melek aja nggak bisa tidur.” Sempat saja Tirtir mengajakku bercanda padahal tubuhnya sangat lemah.

“Bi, Umi sakit apa sih?” Pertanyaan Tirtir membuatku bingung. Aku tidak ingin dia kaget dengan penyakit yang diidapnya. Aku tidak ingin menambah kepedihan dalam hatinya.

Say it, Bi. Umi juga dokter dan Abi jangan terlalu khawatir dengan kondisi psikis Umi.” Tirtir meyakinkanku.

Aku menghela nafas panjang, “Oke! Umi mengidap the silent killer(4)”

“Masya Allah…” Ujarnya terkejut.

Aku tahu hal ini pasti menyakitkan hatinya, membuatnya drop, bahkan aku siap mendengarkan tangisannya yang menjadi-jadi. Namun, suasana hening. Tirtir diam, menutup matanya. Aku melihat bibirnya bergetar dan melantunkan sebuah doa itu lagi, doa yang membuatku selalu terhenyak dan bergetar. Sekuat inikah istriku menerima cobaan-Mu ya, Allah.

“Abi, maafkan Umi yang selalu merepotkan Abi.” Lanjut Tirtir dengan nada bergetar. Perlahan air mata membasahi pipinya.

“Sayang, jangan berbicara begitu. Abi sangat tulus dan ikhlas mencintai Umi. Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar(5)” Aku meyakinkan Tirtir dengan petikan baitNya.

Tirtir mulai sesenggukan, tangannya menggenggamku tanganku erat. Tubuhnya bergetar dan kudapati sebuah senyum yang ia ulaskan tulus ke wajahku.

“Abi, Umi sangat beruntung memiliki suami seperti Abi. Andaikan Allah memang harus mengambil Umi kembali kepada-Nya, Umi hanya ingin Abi yang menjadi pendamping Umi di akhirat nanti.”

Aku hanya tersenyum, tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Aku hanya ingin ia kembali sembuh dan sehat seperti semula. Aku sangat merindukan sosoknya yang penuh semangat dan ceria.

“Jam berapa operasinya, Bi?” Tanya Tirtir.

“Jam empat, sore ini. Masih empat setengah jam lagi. Umi istirahat, ya. Anies berpesan agar Umi cukup istirahat sebelum operasi nanti. ” Jawabku dan Tirtir mengiyakan.

Matahari telah dewasa. Lamat-lamat kudengar adzan Zuhur bersahutan dari beberapa masjid di luar Rumah Sakit. Ya Allah, kepada-Mu kami berserah diri.

***
Cat:
2. Petrichor adalah bau tanah yang baru saja dibasahi oleh hujan.
3. Puisi “Munajat Seorang Hamba; Rudi Armanda” dengan sedikit perubahan.
4. The Silent killer atau Kanker Ovarium (Kista Ovarium) adalah kanker pada ovarium yang menyebabkan kematian terbanyak karena muncul tanpa gejala (asimtomatik) dan baru menimbulkan keluhan jika masuk pada stadium lanjut.
5. QS. Al-Baqarah: 155

Bersambung...

COMMENTS :




Don't Spam Here

0 komentar to “ Sebening KasihNya: Fragmen 2 ”

Post a Comment

Bagi sobat-sobat silahkan comment disini, Insya Allah saya comment balik di blog anda dan Saya follow juga. Blog 7ASK adalah Blog Do Follow, Terimakasih atas kunjungan Anda..!

 

Copyright © 2008-2011 All Rights Reserved. Mobile View Powered by 7ASK / WAWAN ADIE and Distributed by Template

Facebook Twitter Mykaskus