Thursday, April 16, 2009

Beside The Door, episode: Secret of Guy Nextdoor



danau

Sore harinya perasaanku tak keruan, bingung antara ingin menemui Ian, atau tidak. Perasaanku bergolak memikirkannya. Aku resah. Kuurungkan langkahku menuju ke luar rumah, aku kembali masuk ke kamar. Terdiam sejenak, lalu tergelitik untuk menatap ke jendela. Tak kulihat Ian, mungkin saat ini dia tengah menungguku di hutan cemara. Aahhh… aku harus bisa menghilangkan dia dari pikiranku, dia bukan siapa-siapa hanya seseorang yang kebetulan saja mirip dengan Axel, itu saja! Tapi kenapa rasa ini tak bisa kuhentikan… aku ingin menemuinya… Tidak! Aku tidak boleh menemuinya!

Namun entah kenapa akhirnya aku berlari ke hutan cemara, untuk memenuhi janjiku bertemu dengan Ian. Desau angin terasa begitu kencang di sela cemara, menebarkan wangi khas daunnya. Sementara kulihat sosok Ian sudah berdiri di antara batang cemara yang tertata rapi dan indah. Aku tersenyum dan Ian membalasnya. Entah kenapa aku merasa bahagia bila dekat dengannya.

“Akhirnya kamu datang juga,” katanya sambil melirik ke jam tangannya.

“Ada apa, Yan? Kenapa kamu minta aku datang?” tanyaku. Ian mendekatiku lalu mencium pipiku sebagaimana orang bule memberi salam. Lalu Ian menggandeng tanganku menelusuri hutan itu, sambil bercerita, tentang masa kecilnya yang selalu dihabiskannya di sini, bermain atau berenang di danau yang terhampar di balik hutan ini. Ian membawaku ke danau itu, sungguh indah… sinar senja terpantul di airnya yang tenang, warna jingga yang memenuhi setiap jengkal langit yang semula biru. Sama sekali tak menampakkan telah terjadi hujan badai semalam. Sesaat kuhirup udara yang mengalir untuk mengisi rongga-rongga paru-paru yang merindukan kesejukan, namun tiba-tiba...

BBYYUUURR!!! Aku tercebur ke danau, seseorang telah menarik kakiku masuk ke sana dan terus menyeretku masuk semakin dalam, hingga tak mampu lagi aku bernafas, sedangkan tarikan itu semakin kuat dan cepat... aaahhhh! Teriakku namun yang keluar dari mulutku hanyalah berupa gelembung-gelembung sisa-sisa oksigen!

Ian menyentuh pipiku lalu bertanya,

"Kamu kenapa tersengal-sengal seperti itu, Na? Kamu baik-baik saja?" tanyanya seraya menyentuh pundakku, mengejutkanku.

Ya Tuhan, ada apa denganku, kenapa aku ada di sini? Aku tidak tenggelam, bahkan tak basah sedikitpun!

"Baru saja aku mendapat visi yang mengerikan! Aku merasa terseret semakin dalam ke dalam danau itu, Yan?!?" kataku dengan nafas yang masih tersengal. Ian tersenyum.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Na, tidak akan ada orang yang akan menyeret kamu masuk ke sana, atau mungkin kamu punya trauma terhadap danau?" Mungkin? Karena jujur, dulu ketika bertamasya ke pantai, aku yang saat itu masih berusia delapan tahun pernah hampir tenggelam di sana.

"Yang pasti aku tak akan membiarkanmu tenggelam, Na, jadi selama ada aku, jangan pernah kamu merasa takut," kata Ian seraya mengelus pipiku. Larut dalam suasana, aku biarkan Ian memelukku lalu menciumku. Ya Tuhan, ciuman ini kurasa beda dengan Fred, ada debar yang menelusup di dada, ada bahagia yang membuncah di jiwa… kehangatan bibir Ian, menggetarkan jiwa ragaku…

***

Sudah hampir dua minggu ini aku dan Ian berhubungan diam-diam, keterlaluan kan? Memang keterlaluan, tapi aku bisa apa? Perasaanku pada Ian terlanjur begitu dalam lalu bagaimana dengan Fred? Kenapa juga sudah dua minggu ini dia tak pernah datang? Apa dia tahu tentang perselingkuhanku dengan Ian, lantas dia marah dan tak sudi lagi menemuiku? Entah kenapa aku resah, tak biasanya aku begini? Kucoba menghubungi Fred, namun ponselnya tidak aktif.

“Kamu kenapa, Na? Dari tadi gelisah?” tanya Ian. Kugelengkan kepalaku.

“Tidak ada apa-apa,” sangkalku.

“Dia bukan pria yang pantas buat kamu, Na, lupakan dia,” kata Ian seolah tahu yang kupikirkan.

“Tapi dia tetap tunanganku, Yan,” jawabku. Ian tertawa sinis.

“Buat apa kamu bertunangan dengan pria yang hanya mementingkan perasaannya sendiri, dia sama sekali tidak peduli dengan perasaan kamu!” Ian mungkin benar, tapi kenyataannya Fred melakukan itu bukan hanya karena dirinya, tapi karena pesan terakhir papanya.

“Hanya aku yang pantas mendampingi kamu, Na,” Ian mengelus pipiku. Aku menunduk. Aku benar-benar resah, belum pernah aku merasa seperti ini… ya Tuhan ada apa dengan Fred? Kenapa dia tak memberiku kabar apapun? Tanpa sadar airmataku mengalir, mungkin sudah terlambat untukku merasa kehilangan Fred, karena aku memang sudah kehilangan dia…

“Jangan katakan bahwa kamu sekarang baru bisa merasa jatuh cinta padanya!” kata Ian sambil menatap mataku nanar.

“Tapi aku memang merasa kehilangan dia, Yan… aku baru sadar, kalo aku… aku juga merindukan dia,” Tatapan Ian kini berubah seram, seolah ingin menerkamku. Terus terang, aku takut melihatnya.

“Cintamu hanya boleh untuk aku!” katanya mengejutkanku. Apa maksud Ian mengatakan itu?

“Berarti cinta kamu sama egoisnya dengan Fred!” jawabku. Ian menggeleng, masih dengan mata yang terus menembus mataku.

“Aku peduli dengan perasaan kamu! Karena itu aku berada di sini!” entah apa maksudnya, aku tak tahu. Yang jelas, apa yang kurasa saat ini adalah rasa rindu yang sangat menyakitkan akan sosok Fred yang kini entah berada di mana?

***

Di antara kegundahan hatiku, kulangkahkan kaki menuju ke hutan cemara, aku hanya ingin mencari ketenangan di sana. Ketenangan batin yang tak pernah kudapatkan sejak aku merasa kehilangan Fred. Hatiku sibuk bertanya ada apa? Dan ke mana dia? Apa yang membuatnya tidak berpamitan padaku? Aku tak percaya Fred akan meninggalkan aku sendiri di sini, di kota yang sama sekali asing untukku? Memang kuakui semua ini salahku, aku terlalu memojokkan Fred, bahkan aku menduakan cintanya, tapi apakah pantas dia menghukum aku seperti ini? Atau ini baru awal dari kesedihanku kehilangan dia? Atau mungkin ini adalah muslihatnya supaya aku sadar betapa aku membutuhkannya? Aaah, persetan dengan semua itu Fred, yang aku inginkan saat ini, cuma kabar dari kamu, entah apapun itu!

Namun sesampainya di hutan itu, apa yang kulihat? Begitu banyak orang yang berkerumun di sana, ada apa? Aku penasaran, lalu akupun segera berlari mendekati danau.

Dapat kulihat dengan jelas dari tempatku berdiri, sesosok mayat biru legam dengan tubuh menggelembung, kaku diangkat beramai-ramai oleh beberapa orang menuju ke daratan. Siapa itu? Tak bisa kulihat dengan jelas, tapi… kemeja itu? Kemeja itu sama seperti yang dipakai Fred di malam hujan badai waktu itu! Akupun lari mendekatinya menerobos batas polisi, tak kuhiraukan sama sekali larangan untuk mendekat. Kudekati mayat itu, namun bukan… ini tidak terlihat seperti Fred! Wajahnya membengkak dengan mulut yang menganga… jantungku berdetak sangat keras. Ini bukan Fred! Aku mencoba menenangkan diri. Tapi… gigi itu… gingsul di taring kanannya… tubuhku lemas seketika menyadari bahwa mayat itu benar-benar Fred!

“Tunggu sebentar, di dalam masih ada lagi!” kata salah satu orang yang masuk ke danau menyelamatkan Fred. Lalu beberapa orang kembali masuk ke dalam air. Dan beberapa saat kemudian mengeluarkan, sesosok mayat yang lebih rusak dari Fred… tubuhnya sudah hampir hancur, lembek, karena sekian lama berada di dasar danau. Siapa dia?

“Aku temukan ini di dekat mayat,” kata seseorang sambil mengeluarkan sebuah jam tangan berkarat dari genggamannya. Tunggu dulu… jam tangan itu?

Seketika kelebatan ingatan itu muncul dalam benakku. Saat bertemu dengan Ian di taman cemara untuk pertama kalinya,

“Akhirnya kamu datang juga,” katanya, melihat jam tangannya.

Ini tidak mungkin!

***

Aku menangis, panik dan segera berlari ke rumah Ian, aku ingin cari tahu tentang kebenaran bahwa mayat itu bukanlah Ian! Karena tak mungkin mayat Ian bisa lebih rusak dari Fred sementara semalam dia masih bersamaku. Kuketuk pintu itu berulang-ulang, namun tak ada jawaban… terus kuketuk pantang menyerah, tetap saja Ian tak membukanya.

Lalu aku kembali ke rumahku dan segera berlari ke kamar untuk melihat ke rumah Ian dari jendela. Tapi… jendela rumah itu tertutup seolah memang tak ada yang tinggal di sana. Rasa penasaran membuatku memutuskan untuk melompat ke balkon sebelah yang kira-kira berjarak satu meter setengah. Karena yang aku rasa saat ini hanya penasaran dan penasaran, harus tahu kejadian yang sebenarnya, maka tak sedikitpun aku takut untuk melakukannya.

Hup! Aku berhasil, ternyata tak sesusah yang aku kira. Lalu kupecahkan kaca jendela kamar itu, dan kumasukkan tanganku membuka kuncinya. Jendelapun terbuka, dan aku masuk ke dalamnya. Kulihat di dalam kamar itu semua perabot tertutup kain putih berdebu, sama persis seperti saat pertama kali aku menempati rumahku. Tubuhkupun lunglai, lalu kulihat jendela kamarku sendiri dari sini. Aku terkejut, kulihat Ian ada di sana, dia tersenyum padaku, masih dengan senyum yang sama… lalu membalikkan badannya,

“Ian, tunggu!” kataku lalu kembali melompat. Namun Ian sudah tak ada. Dan aku hanya bisa menangis dan menangis, telah kehilangan dua orang yang sangat berarti dalam hidupku!

Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba kudengar pintu kamarku diketuk, akupun turun untuk membukanya. Alangkah terkejutnya aku melihat Fred berdiri di depan pintu dengan wajah ketakutan, ini tak mungkin! Aku mundur beberapa langkah, ngeri… namun Fred terus mendekat.

“Waktuku nggak banyak, Na, aku mau bicara! Tapi cepat tutup pintunya! Jangan biarkan dia masuk!” katanya panik.

“Sss… siapa?” tanyaku.

“Hantu yang keluar dari danau… dia menyeretku masuk ke sana! Dan itu selalu terjadi setiap aku datang untuk menemui kamu, Na!”

“Ian???” desisku lirih. Setidaknya aku tahu apa penyebab Fred bahkan arwahnya sekalipun tak pernah datang menemuiku!

“Kenapa dia ngelakuin ini, Na? Apa sebabnya? Katanya aku membuat kekasihnya menangis…, tapi siapa kekasihnya itu? Aku nggak ngerti! Bisakah kamu jelasin ke aku apa yang terjadi???” tanya Fred dengan tubuh yang mulai samar. Akupun menangis.

"Maafin aku, Fred, semua ini salahku, aku mencintainya karena dia mirip dengan Axel, pacar aku yang harus kuputusin karena kamu, Fred," Fred menatapku nanar, wajahnya terlihat sangat kecewa.

"Kirana, sekarang waktunya aku untuk pergi, aku maafin kamu, I love You," kata Fred lalu menghilang bagai pasir tertiup angin.

Bahkan di saat terakhirpun Fred masih bisa memaafkan aku! Begitu terkutuknya aku! Mengkhianati pria yang sedemikian baik, yang harus tewas karena aku! Seluruh tulangku lemas seketika setelah tubuh Fred lenyap dari pandangan mata. Sungguh tak pernah kusangka, Ian melakukan semua ini, menghabisi nyawa Fred, yang begitu tulus mencintai aku.

***

Keesokkan harinya kudengar ada seorang mayat lagi yang ditemukan di danau itu, bernama Peter.

Kasus ini terungkap oleh adanya saksi yang selama ini berada di rumah sakit jiwa, karena melihat dan mengalami langsung kejadian yang terjadi saat itu. Saksi itu adalah Winona, kekasih Ian yang berselingkuh dengan Peter. Winona melihat sendiri bagaimana Ian menghabisi nyawa Peter dan dirinya lalu menghabisi nyawanya sendiri, sungguh tragis! Untung saja Winona berhasil selamat meskipun ditemukan dalam keadaan shock dan gila.

Dua hari kemudian, setelah Winona memberikan kesaksian yang semula tak pernah ada yang percaya, mulailah terkuak pengakuan-pengakuan tentang beberapa orang yang hilang secara misterius! Dan berdasarkan fakta itu, tim penyelamat kembali mencari dan mencari, hingga akhirnya berhasil menemukan lima mayat lagi, yang empat diantaranya adalah pasangan kekasih, yang pernah tinggal di rumah… rumah sebelah rumah Ian. Sementara yang satunya lagi adalah seorang wanita yang belum diketahui identitasnya.

Begitu heboh kejadian itu hingga membuat seluruh surat kabar memuat beritanya. Dan yang lebih mengejutkan aku, saat melihat foto wajah asli Ian yang terpampang jelas di surat kabar. Sebuah wajah yang sama sekali tak mirip dengan Axel, bahkan senyum dan sorot matanya sangat berbeda? Ini aneh! Apakah dia adalah hantu yang bisa merubah wajahnya? Atau hanya aku yang melihatnya begitu karena aku menginginkannya? Menginginkan seorang Axel, sehingga aku terus membawanya dalam bayang Ian? Entahlah... aku sendiri tak pernah tahu jawabnya. Tapi tunggu! Di sana juga terpampang foto orang-orang yang menjadi korban, termasuk Fred dan... aku?

Terhuyung aku seketika, saat mengetahui kenyataan bahwa aku juga telah dihabisi oleh Ian!

Teringat akan senja itu ketika aku bersama Ian di tepi danau ini, ketika tangannya menggandeng tanganku menelusuri sepanjang danau, tiba-tiba tangannya menyeretku masuk ke sana... Ya Tuhan, visi itu! Benar-benar terjadi, visi yang datang sesaat sebelum Ian memeluk dan menciumku di bawah temaramnya senja, di antara kerlip air danau yang memantulkan cahaya.

Sesaat kemudian, kurasa tubuhku meringan lalu terbang terbawa angin yang tak sedang masuk melalui jendela kamarku.

TAMAT

COMMENTS :




Don't Spam Here

0 komentar to “ Beside The Door, episode: Secret of Guy Nextdoor ”

Post a Comment

Bagi sobat-sobat silahkan comment disini, Insya Allah saya comment balik di blog anda dan Saya follow juga. Blog 7ASK adalah Blog Do Follow, Terimakasih atas kunjungan Anda..!

 

Copyright © 2008-2011 All Rights Reserved. Mobile View Powered by 7ASK / WAWAN ADIE and Distributed by Template

Facebook Twitter Mykaskus