Thursday, April 16, 2009

Cinta Untuk Mai

Laiman terus melangkah. Malam ini cuaca begitu cerah, sayang kalau harus dilewatkan begitu saja. Ia dapat merasakan hembusan angin yang menyentuh permukaan kulitnya dan sejuknya udara dingin yang menyegarkan hatinya. Cukup sudah kesibukan hari ini, bekerja sehari penuh di ruangan yang berisi asap dan aroma masakan. Cukup sudah, mata dan tangannya bekerja mencampur seluruh bahan makanan menjadi satu. Ah, cukup sudah untuk hari ini. Laiman hanya ingin menikmati malam tenang ini.

Tinggal satu belokan lagi dan Laiman akan mencapai kondominiumnya. Hanya tinggal melewati sebuah taman dan Laiman akan sampai. Tokyo malam ini begitu dingin, mungkin hanya Laiman saja yang dengan tulus hati mau menikmati sepanjang sunyi ini. Semua orang di sekitarnya berebut tempat dan berdesakan mengantri untuk membeli malam dan mengisinya dengan hiburan akhir pekan. Bukan sesuatu yang mengejutkan. Mereka bekerja dengan penuh keekstriman sepanjang hari. Menembus kerumunan demi mendapat tempat di kereta, tak ayal kereta seakan menjadi rumah kedua bagi mereka untuk melanjutkan kegiatan yang tertunda seperti menikmati sarapan atau berdandan, berdesakan untuk mencapai tempat kerja, dan bekerja menguras peluh.

Laiman masih terus melangkah, sampai tiba-tiba pandangannya dikejutkan oleh sebuah hal asing. Di taman itu. Benar, di taman itu. Laiman hanya melihat dari sisi jalan, seorang gadis dan seorang diri duduk di salah satu ayunan itu. Perawakannya mungil, mungkin usianya terpaut sekitar tujuh hingga sepuluh tahun di bawahnya. Sejenak Laiman menatap gadis itu. Ia tidak melangkah. Hanya terdiam dari sisi jalan, bersembunyi di balik tembok taman.

Gadis itu terus mengayunkan kaki kecilnya untuk menggerakkan ayunan itu. Malam sedingin ini. Sesunyi ini. Dan seorang gadis? Laiman berpikir. Ternyata ada orang yang lebih gila daripada dia.

Laiman kembali melangkah. Tidak perlu dipikirkan. Malam minggu milik semua orang, bukan hanya miliknya. Milik gadis itu juga. Tidak lebih dari sepuluh menit, Laiman sudah menapakkan langkahnya di pintu masuk kondominiumnya dan segera bergegas menuju kamarnya. Kamar seorang bujangan.

Laiman menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dipandangnya ruangan di sekelilingnya, kanan adalah meja kerja dan lemari, kiri kamar mandi dan dapur. Itu saja. Ia terus memutar-mutar bola matanya yang berwarna coklat, hingga tak terasa malam sudah begitu larut, dingin sudah semakin menusuk, Laiman mulai menarik selimut tebalnya. Sunyi, semakin sunyi. Laiman tinggal di pinggiran, sehingga malam minggu akan terasa sepi karena semua orang lebih memilih untuk menghabisinya ke pusat kota. Laiman? Lebih baik sendiri. Ia sudah terlalu lelah. Lebih baik ia memejamkan matanya dan membukakan pintu bagi lelap.

*****

Hari Minggu adalah hari tergila. Laimanpun ikut menggila. Tenaganya benar-benar terkuras, pengunjung rumah makan tempatnya bekerja hari ini benar-benar padat. Pandangan Laiman semakin kabur dipenuhi asap-asap yang mengepul, tangannya letih harus memotong satu demi satu sayuran. Hidungnya sesak dengan aroma-aroma hot plate yang seakan ingin membunuhnya. Belum lagi dengan ocehan-ocehan chef lain yang tidak hentinya bercerita tentang bagaimana mereka menghabiskan semalam kemarin. Laiman merasa dirinya sudah mulai membusuk.

Lagi-lagi, Laiman kembali melangkah. Penuh letih bercampur kelegaan. Letih karena tubuhnya berteriak karena sudah mencapai batas. Lega karena ia bisa mengakhiri satu hari anugerah ini. Kali ini ia lebih memilih untuk membiarkan pikirannya kosong, ia tidak peduli dengan angin ataupun kesunyian di sekitarnya.

Satu belokan lagi dan- Laiman melihat gadis itu lagi. Ia berdiri tetap di mulut gerbang taman dan gadis itu masih di ayunan yang sama, mengayunkan kakinya dengan perlahan untuk menggerakkan ayunan biru itu. Kali ini Laiman bisa melihat dengan jelas, terima kasih karena lampu taman benar-benar menerangi malam ini. Gadis itu mengenakan gaun tidur berwarna biru tua, rambutnya panjang terurai menutupi sebagian wajahnya, kulitnya putih pucat dan pandangannya seakan kosong tidak memperhatikan sekitarnya.

Mungkinkah? Laiman mulai gemetar, bulu romanya seakan berdiri di sekujur tubuhnya, ia ingin berlari tapi kakinya seakan kaku untuk digerakkan. Tidak bisa. Ia memang tidak ingin pergi. Seakan ia begitu menikmati melihat gadis itu. Tanpa sadar Laiman mulai melangkah lebih dekat. Lebih dekat memasuki taman itu. Padahal tinggal satu belokan lagi ia akan sampai ke kondominiumnya.

Onii-san?” Gadis itu mendongakkan kepalanya. Kaget. Laiman tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya dengan pandangan tajam, “Konbanwa,” Sapanya, gadis itu seakan tidak terganggu dengan kehadiran Laiman. Ia tetap mengayunkan kakinya dan terus menggoyangkan ayunannya.

“Di sini dingin,” Hanya itu. Singkat. Laiman tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Gadis itu menghentikan ayunannya. Ditumpukan kedua kakinya pada tanah seketika. Laiman dapat melihat bagaimana gadis itu terlihat lebih murung dari sebelumnya, “Gomenna,” Laiman segera membungkukkan tubuhnya dan berbalik. Lari. Lari meninggalkan gadis itu.

Ia terengah-engah mencapai pintu kondominiumnya. Pikirannya mulai berisikan hal-hal aneh tentang gadis yang baru saja ditemuinya. Laiman memandang sekujur tubuhnya dengan merinding. Bayangan wajah pucat gadis itu terus mengisi benaknya dan ia sangat terganggu! Gadis itu cantik. Laiman mengakuinya sebagai seorang pria normal. Tapi siapa yang dapat meyakinkannya bahwa dia memang gadis dan bukan hal…Lain?

*****

(bersambung)

*Onii-san = sebutan untuk (kakak) laki-laki, kadang-kadang untuk pria yang lebih tua
*Konbanwa = salam selamat malam
*Gomenna = maaf (dari kata : Gomen)

COMMENTS :




Don't Spam Here

0 komentar to “ Cinta Untuk Mai ”

Post a Comment

Bagi sobat-sobat silahkan comment disini, Insya Allah saya comment balik di blog anda dan Saya follow juga. Blog 7ASK adalah Blog Do Follow, Terimakasih atas kunjungan Anda..!

 

Copyright © 2008-2011 All Rights Reserved. Mobile View Powered by 7ASK / WAWAN ADIE and Distributed by Template

Facebook Twitter Mykaskus